Jumat, 13 November 2009
Wah, Pohon Sintetis Serap CO2 1.000 Kali Lebih Cepat
Global Research Technologies
Pohon sintetis yang berbentuk seperti bangunanSenin, 13 Juli 2009 | 15:59 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Para ilmuwan telah merancang pohon sintetis yang bisa menangkap karbondioksida dari udara sebagai upaya untuk melawan peningkatan emisi karbon. "Pohon" ini bentuknya lebih mirip bangunan kecil daripada pohon, tapi bisa menyerap karbon 1.000 kali lebih cepat daripada pohon asli.
Satu pohon sintetis bisa menyerap satu ton karbondioksida per hari, setara dengan jumlah rata-rata yang dikeluarkan 20 mobil. Setelah disimpan dalam satu bilik, karbon tersebut akan dipadatkan dan disimpan dalam bentuk cairan untuk kemudian diuraikan.
Profesor Klaus Lackner dari Universitas Colombia telah mengerjakan konsep ini sejak tahun 1998. Ia belakangan bertemu dengan pejabat Departemen Energi Amerika Serikat, Steven Chu, untuk membahas perkembangan proyek ini. Lewat perusahaannya yang bermarkas di Tucson, Global Research Technologies, Lackner telah membuat model awal dan berharap bisa menghasilkan prototipe sempurna dalam 3 tahun ini.
Seperti dijelaskan Lackner, teknologi yang dipakai pohon sintetis ini mirip dengan yang biasa digunakan untuk menyerap karbondioksida dari cerobong asap di pertambangan batu bara. Bedanya, alat ini bisa digunakan di mana saja. Menurut Lackner, separuh dari total emisi karbon berasal dari sumber-sumber yang berukuran relatif kecil, termasuk mobil dan pesawat terbang, dan biasanya hampir tidak mungkin untuk diserap. Namun karena karbondioksida dalam udara biasanya sangat terkonsentrasi, alat yang dibutuhkan untuk menyerapnya juga bisa berukuran kecil.
Harapan Lackner adalah membuat pohon sintetis ini agar efisien untuk ukurannya. Dibandingkan dengan jumlah emisi karbondioksida yang bisa dihindarkan dengan penggunaan kincir angin besar, sebuah pohon sintetis dengan ukuran yang sama bisa menyerap karbondioksida ratusan kali lebih banyak.
Untuk membuat satu pohon sintetis dibutuhkan dana hingga 30.000 dollar AS, sebagian besar karena penggunaan teknologi untuk melepaskan karbondioksida dari penghisap gas. Sebagai tambahan, karena membutuhkan energi untuk beroperasi, maka alat ini sendiri juga menghasilkan karbondioksida jika dihubungkan dengan sumber tenaga. Menurut kalkulasi Lackner, untuk setiap 1.000 kg karbondioksida yang diserap, "pohon" ini akan menghasilkan 200 kg sehingga total karbondioksida yang sesungguhnya diserap adalah 800 kg.
Teknik Pembenaman Karbon Dikaji
KOMPAS/GESIT ARIYANTO
Mateus Tambaru, petani rumput laut di Dusun Lutu, Lobalin, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, memetik hasil kerja kerasnya. Selain menopang hidup sehari-hari dan sekolah lima anaknya, hasil budidaya itu juga dapat ia gunakan membangun rumah baru, seperti tampak di belakangnya.
Artikel Terkait:
Berhasil Tekan Polusi, Jakarta Jadi Model Negara Lain
Kejar Target Penurunan Emisi, Indonesia Kerja Sama dengan Australia
2030, Indonesia Potensi Kurangi 60 Persen Emisi Karbon
Indonesia Harus Diperhitungkan Dunia Internasional
Wah, Pohon Sintetis Serap CO2 1.000 Kali Lebih Cepat
Jumat, 13 November 2009 | 07:53 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Meski tingkat emisi karbon per kapita di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara maju, Indonesia tengah meneliti potensi alamnya dalam menyerap emisi tersebut di darat dan laut. Hal ini merupakan salah satu kontribusi Indonesia dalam mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim.
Penelitian sementara, baik di darat maupun laut, menunjukkan adanya potensi alam dalam menyerap karbon, di kawasan tertentu. Nani Hendriarti, peneliti dari Pusat Teknologi Survei Kelautan BPPT, Rabu (11/11), menyebutkan beberapa kawasan di Indonesia, seperti di selatan Jawa dan Laut China Selatan, berpotensi menyerap karbon. Daerah perairan ini yang bersuhu relatif dingin, sebagai akibat adanya proses naiknya massa air dari laut dalam ke permukaan.
Berdasarkan data suhu laut yang terpantau satelit sejak 24 tahun terakhir itu, potensi pembenaman karbon (carbon sink) diperkirakan terjadi di 35 persen total luas perairan Indonesia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat parameter lain.
Penelitian tentang peranan laut di Indonesia dalam siklus karbon juga dilakukan Agus Setiawan, peneliti lain dari BPPT. Penelitiannya ditujukan untuk melihat disolved organic carbon serta alkalinitas. Adanya fenomena arlindo (arus lintas Indonesia) berperan pada proses penyerapan CO oleh laut.
Sementara itu, Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, menambahkan aktivitas gunung berapi yang mengeluarkan material aerosol. Menurut penelitian, letusan Gunung Tambora dan Krakatau berdampak pada pendinginan suhu Bumi selama beberapa tahun pada masa lampau.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia Indroyono Susilo mengatakan, diperlukan pemantauan lebih lanjut mengenai potensi penyerapan karbon di laut Indonesia. Potensi biota laut, seperti terumbu karang, rumput laut, atau ganggang, dan plankton diketahui memiliki kemampuan untuk menyerap karbon. (YUN)
Rabu, 11 November 2009
Penghijauan, Kurangi Risiko Kebakaran
Miss Universe 2008, Dayana Mendoza, didampingi Putri Indonesia 2008 Zivanna Letisha Siregar dan Putri Sumsel 2008, Silvia menanam pohon di Kambang Iwak Family Park, depan Rumah Dinas Walikota Palembang, Sumsel, Rabu (20/8).
Artikel Terkait:
Mantap, Hutan Kota di Tiap Kelurahan!
Butuh 20 Tahun Untuk Penghijauan
Reboisasi Lewat Udara Akan Dilakukan Oktober
Pohon-pohon Merana, Jakarta Utara Makin Panas
Sabtu, 31 Oktober 2009 | 12:47 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Melakukan penghijauan tak hanya bermanfaat untuk peningkatan kualitas kesehatan dan keindahan. Penghijauan ternyata juga dapat mengurangi risiko terjadinya kebakaran.
Sudjadi, Kepala Suku Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Barat, mengatakan, hingga bulan Oktober 2009 telah terjadi 168 kasus kebakaran di wilayahnya. "Beberapa kasus terjadi karena api menyala sendiri," ucapnya di Jakarta, Sabtu (31/10).
Sudjadi mengatakan, api yang menyala sendiri tersebut disebabkan tidak ada media yang dapat menahan panas bumi. Contohnya, seperti kebakaran yang terjadi di daerah Joglo, Jakarta Barat, beberapa waktu yang lalu. Api dalam gudang berasal dari tumpukan barang-barang. Tumpukan barang-barang di gudang lama-kelamaan mengeluarkan panas. Karena tidak ada yang menyerap hawa panas itu, api pun timbul.
"Kalau banyak pepohonan, maka ada media yang menyerap panas yang dikeluarkan bumi. Dengan demikian, tumpukan barang yang ada dalam gudang tidak memercikkan api," ucap dia.
Menyadari pentingnya penghijauan bagi lingkungan sekitar, Lurah Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat, Zerry Ronazy mengimbau warganya agar melakukan penghijauan, paling tidak di halaman rumah masing-masing. "Tadinya mau satu orang, satu pohon. Tapi, menjadi satu rumah, minimal satu pohon," kata dia.
Selain itu, pihaknya secara berkala juga memberikan pohon kepada warga Kelurahan Tanjung Duren Utara. Sebanyak 300 pohon dari berbagai jenis diberikan kepada masyarakat setiap beberapa bulan.
Program penghijauan tidak hanya didukung aparat terkait. Pihak pengelola pusat perbelanjaan juga melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Mal Ciputra. Melalui program Go Green, Mal Ciputra kerap membagikan bibit dan melakukan penanaman pohon di lingkungan sekitar Mal. "Jenis pohon yang dibagikan bermacam-macam, mulai dari bibit tanaman rindang, hingga tanaman hias," kata Silivia, Manager Marketing Mal Ciputra.
Ia mengatakan, selain melakukan penanaman pohon, program yang telah berjalan selama dua tahun ini juga melakukan uji emisi secara berkala. "Kita juga mengimbau agar para pengunjung menjadi green shopper dengan menggunakan tas belanja yang ramah lingkungan dan dapat digunakan berkali-kali," ucap dia.
17.291 Spesies Terancam Punah
Ilustrasi
Artikel Terkait:
Amfibi Paling Rentan Kepunahan
Harimau Punah Dua Dekade Lagi
Harimau Sumatera dan Orangutan Batang Toru Terancam Punah
Anoa dan Rusa Terancam Punah
Buaya Senyulong Terancam Punah
Jumat, 6 November 2009 | 09:04 WIB
KOMPAS.com - Makin banyak spesies satwa dan puspa di dunia yang terancam punah oleh berbagai sebab, termasuk hilangnya habitat mereka akibat kerusakan lingkungan, perburuan oleh manusia atau sebab-sebab lain. Dalam survei yang dilakukan organisasi lingkungan internasional, International Union for Conservation of Nature (IUCN) terhadap 47.677 satwa dan puspa yang tergolong ”daftar merah” didapati 17.291 spesies di dunia dinyatakan terancam punah alias hilang dari muka bumi.
Dibandingkan dengan tahun 2008, survei kali menambahkan 2.800 spesies yang masuk dalam kategori terancam punah. Beberapa yang dianggap terancam antara lain dua jenis kadal yang ditemukan belum lama ini di Filipina. Juga katak pohon Panama yang amat langka.
Secara umum, seperlima spesies yang terancam punah merupakan jenis mamalia dan sebagian lagi merupakan jenis reptil. Craig-Hilton Taylor, yang mengelola daftar itu, mengatakan, apa yang terdata tersebut hanyalah pucuk gunung es dari kondisi di alam sebenarnya. Bahkan, kemungkinan ada yang jauh lebih terancam punah, tetapi tidak terdata dalam survei.
Dalam ”daftar merah” dimasukkan juga harimau, yang diperkirakan populasi di alamnya kurang dari 5.000 ekor. Kondisi harimau di Asia, termasuk Indonesia, diperkirakan dalam kondisi ancaman serius karena perburuan liar, konversi lahan, dan pembukaan hutan. (GSA)
Monster Laut Inggris Lebih Garang dari T-rex
Ilustrasi seekor plesiosaur.Rabu, 28 Oktober 2009 | 17:21 WIB
LONDON, KOMPAS.com — Fosil rahang dan tengkorak yang ditemukan di pantai Inggris mengungkapkan keberadaan monster laut raksasa yang mungkin lebih garang dari T-rex. Betapa tidak, panjangnya saja diperkirakan sekitar 18 meter, berbobot 15 ton, dan bisa memiliki kekuatan gigitan 4 kali kekuatan gigitan T-rex.
"Dengan rahang sepanjang 2,4 meter, mulutnya bisa membuka selebar 5 meter. Seekor T-rex layak jadi menu makan paginya," ujar pakar dinosaurus Dr Richard Forrest. Menurutnya, makhluk tersebut bisa jadi predator paling menakutkan sepanjang masa, Apalagi dengan siripnya yang lebar, ia bisa sangat lincah berenang di perairan.
Adalah pemburu fosil bernama Kevan Sheehan (62) yang menemukan fosil hewan spektakuler itu. Ia menemukan bagian pertama fosil makhluk tersebut berupa pecahan tulang tengkorak pada tahun 2002 di wilayah Charmouth, Dorset. Selama lima tahun penggalian, ia kemudian menemukan 25 pecahan tulang lainnya.
Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa fosil tulang belulang tersebut berasal dari reptil laut jenis plesiosaur. Hewan tersebut diperkirakan hidup 150 juta tahun lalu. Ukurannya yang superbesar mengerdilkan fosil plesiosaur terbesar dengan panjang 15 meter yang pernah ditemukan di Arktik. Fosil tersebut saat ini disimpan di Dorset County Dorset setelah pihak museum membayar 10.000 poundsterling kepada Kevan.
Fosil "Burung Darwin" Ditemukan di China
Mark Witton/University of Portsmouth.
Liustrasi reptil terbang yang diberi nama Darwinopterus modularis.
Artikel Terkait:
Fosil Telur Dinosaurus Ditemukan di India
Mata Rantai Dinosaurus yang Hilang Ditemukan
Konfusius, Dinosaurus Berbulu Paling Tua
Dinosaurus Omnivora Ditemukan di Argentina
Terbukti Telur Dulu, Baru Ayam
Kamis, 15 Oktober 2009 | 18:10 WIB
BEIJING, KOMPAS.com - Paleontolog China dan Inggris mengumumkan temuan fosil reptil terbang, pterosaurus, yang dipercaya hidup pada 65 juta hingga 220 juta tahun silam. Temuan itu menjadi kunci misteri keberadaan reptil terbang selama ini.
Temuan tersebut dijuluki Darwinopterus modularis, sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap pencetus teori evolusi Charles Darwin. Temuan itu dipublikasikan dalam jurnal terbitan Inggris, Proceedings of the Royal Society B, Rabu (14/10).
Fosil ditemukan di gunung batu, yang terbentuk 160 juta tahun silam di sisi utara China, awal tahun ini. Masa itu merupakan masa pertengahan dan akhir periode Jurassic. Selama ini para ahli hanya mengetahui dua kelompok reptil terbang, antara yang primitif dengan ekor panjang (disebut juga pterodactyls) dan yang lebih maju, yang berekor pendek.
Sementara itu, Darwinopterus menunjukkan tanda-tanda perantara antara keduanya. Darwinopterus menyerupai reptil yang mirip elang dengan kepala dan leher mirip pterosurus yang lebih maju. Namun, kumpulan tulang yang dikumpulkan para ahli menunjukkan bentuk-bentuk primitif.
Para ahli menyebutkan, temuan tersebut kemungkinan merupakan bukti dari apa yang dikenal sebagai evolusi modular, yaitu seleksi alam mendorong keseluruhan ciri untuk berubah secara cepat dibandingkan dengan yang lainnya.
"Temuan ini mengejutkan kami semua," kata paleontolog dari Universitas Leicester, Inggris, David Unwin, seperti dikutip AFP. Secara fisik, Darwinopterus berahang panjang, memiliki deret gigi tajam, dan leher yang bisa digerakkan fleksibel.
Para ahli menduga jenis itu bertahan hidup mengandalkan sayapnya dengan menangkap secara cepat mamalia kecil atau dinosaurus berbulu seukuran merpati cikal bakal burung masa kini. Para peneliti, yang diketuai ahli dari Institute of Ecology Beijing memercayai, pterosaurus merupakan contoh proses evolusi yang cepat, dimulai dari kepala dan leher, lalu diikuti tubuh, ekor, sayap, dan lengan. (AFP/GSA)
Dinosaurus Lapis Baja Ditemukan
Bill Parsons
Spesies baru dinosaurus yang disebut Tatankacephalus cooneyorum, mungkin memiliki kulit berlapis bahan keras.
Artikel Terkait:
Perancis Temukan Jejak Dinosaurus Terbesar
Fosil Tyrannosaurus Rex Dilelang
Pterosaurus adalah Penerbang Andal
Raptor Australia Lebih Mengerikan
Bobot Dinosaurus Terbesar Ternyata Cuma 19 Ton
Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14:36 WIB
MONTANA, KOMPAS.com — Sepasang suami istri paleontolog telah menemukan spesies baru dinosaurus yang hidup 112 juta tahun lalu di wilayah yang kini menjadi Montana. Uniknya, dinosaurus tersebut memiliki lapisan keras di kulitnya sehingga mirip kendaraan lapis baja.
Keduanya, Bill dan Kris Parsons, dari Buffalo Museum of Science, New York, menemukan tengkorak dino tersebut di lereng bukit di Montana tahun 1997. Mereka kemudian meneruskan pencarian dan penggalian hingga terkumpul fosil yang hampir lengkap, termasuk tengkorak dengan lapisan pelindungnya, potongan rusuk, tulang belakang, dan tulang kaki.
Hewan yang kemudian dinamai Tatankacephalus cooneyorum adalah sejenis ankylosaurus, dinosaurus pemakan tanaman yang tubuhnya ditutupi lapisan tulang. Lapisan itu mungkin berwarna, dan bahannya serupa kerapak kura-kura atau paruh burung.
"Mereka adalah dinosaurus besar yang berjalan dengan empat kaki dan berpelindung seperti tank Sherman," kata Bill Parsons tentang hewan yang panjangnya mencapai 4,5 hingga 6 meter itu.
Selain berlapis baja, dinosaurus ini dilengkapi juga dengan dua pasang tanduk lancip, satu di pipinya dan satu pasang lagi di sekitar matanya. Ia memiliki dua lapisan tebal di belakang kepala dan bagian yang keras di sekitar hidung.
Bill Parsons yakin, semasa hidupnya, T cooneyorum ditutupi ratusan atau ribuan keping lapisan keras, memiliki sirip keras di punggung, dan duri di bagian ekornya, serupa dengan ankylosaurus.
Untuk menghindari pemangsa, ankylosaurus mungkin merundukkan tubuhnya di tanah dan menarik kepalanya, sementara tanduk di kepalanya melindungi dari gigitan ke arah leher.
Adapun jenis yang ditemukan ini diduga merupakan jenis yang muncul setelah ankylosaurus yang lebih primitif dan ankylosaurus yang hadir kemudian dengan tanduk lebih besar dan bagian hidung lebih lengkung.
Langganan:
Postingan (Atom)