Minggu, 15 November 2009

AGROFORESTRI SEBAGAI BENTUK PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT BERKELANJUTAN DAN SALAH SATU PENGENDALI LINGKUNGAN

mba Anastasia Intan Sawitri saya pinjam makalahmu sebentar, saya simpan dulu di blog saya coz ada tugas dari dosen untuk membuat power point ttg pola pengembangan agroforestry dan tugasnya sesui dengan punyanya mba, klo udah selesai nanti saya hapus...sebelumnya makasih banyak..........

A. Pertumbuhan Penduduk dan Permasalahan Fungsi Lahan

Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi mendorong bertambahnya permintaan akan lahan baik untuk pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi konversi lahan hutan sekitar 50 hektar per tahun (Nasution dan Joyowinoto, 1995). Konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun industri tidak jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur. Alih guna lahan terus terjadi, menyebabkan lahan potensial untuk pertanian menjadi berkurang. Pembangunan perlu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Penggunaan lahan potensial berubah fungsi dan guna untuk sarana pemukiman dan pembangunan industri juga meningkatkan pencemaran dari hasil produksi rumah tangga ataupun industri.

Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah luas. Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah, baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997).

Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002). Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).

Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.

Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu DAS yang berkelanjutan.

Dilema lain yang harus dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk yang menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan pertanian cukup besar. Upaya peningkatan produksi pertanian dilakukan secara intensif. Pengelolaan lahan secara monokultur dan pemberian masukan luar yang tinggi yang tidak jarang menimbulkan masalah baru dalam produksi pertanian. Pemberian masukan tinggi menyebabkan lahan menjadi tercemar, sehingga lahan memerlukan perbaikan untuk menjaga fungsi lahan sebagai media tumbuh dan sarana penyimpanan air, unsure hara dan bahan-bahan fungsional untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

B. Pemecahan Masalah Degradasi dan Alih fungsi Lahan

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat ditempuh dengan cara pengelolaan pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilamana memiliki ciri seperti :
1. Dapat meningkatkan pendapatan petani,
2. Komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar,
3. Tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan
4. Teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Rony, 2008).

Pemecahan masalah degradasi lahan dan alih fungsi lahan dapat ditempuh dengan teknologi yang telah berkembang di masyarakat. Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan yaitu :

1. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage,
2. Countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
3. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
4. Struktur atau konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, saluran, dll.
5. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan (Rony, 2008).

Dengan adanya permasalahan degaradasi lahan dan alih fungsi lahan maka dapat diupayakan proses pengembangan sistem agroforestri berbasis mayarakat dan pengembangan pembangunan berkelanjutan. Dalam penerapan agroforestri diperlukan pula upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri untuk dapat diterapkan petani di daerah tropika, termasuk di Indonesia.

C. Agroforestri Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengendali Lingkungan

Agroforestri secara harafiah dapat diartikan sebagai pertanian berbasis kehutanan. Agroforestri merupakan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Dengan adanya agroforestri diharapkan dapat menjaga fungsi hutan dalam bentuk proses pertanian selain juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemenuhan produksi pertanian di pasar.

Berbasis masyarakat dalam banyak istilah yang digunakan oleh banyak pihak

yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya

hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry. Titik berat dalam pembanguanan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep berkeadilan (Rahardjo, 2007).

A. Agroforestri
Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989, Muthoo and Chipeta (1991), agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).

Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta Nopember 1981, mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut ; Suatu metode penggunaan lahan secara oftimal, yang mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat ” (Satjapradja, 1981).

B. Degradasi dan Konservasi Lahan
Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).

Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.

Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah. Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi ΓΈ 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur.

Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.

Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.

Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di Kalimantan tengah (Dephut, 2003). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun.

A. Agroforest Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan, yaitu:

1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (resources based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based forest management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi (produksi kayu) saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif, dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap (soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan kualitas lingkungan yang lestari.

B. Arah Pengembangan Agroforestri

Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani berabab-abad lamanya, namun agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah tentang agroekosistem kompleks seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah. Akan tetapi sudah disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai macam agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang kompleks, canggih dan tepat guna untuk kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998).

Dalam pengembangan sistem agroforestri beberapa hal penting yang harus diketahui adalah kapasitas petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk meramalkan dan menjelaskan hasil suatu percobaan. Oleh karena itu untuk menciptakan sistem bertani yang berwawasan lingkungan dibutuhkan kerjasama yang erat dengan para petani. Pengetahuan indigenous merupakan pelengkap (complement) penting bagi pengetahuan lmiah formal. Seperti yang dinyatakan oleh Grandstaff and Grandstaff (1986), para petani memang tidak punya pengetahuan ilmiah untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi, akan tetapi tak seorangpun mampu lebih baik dalam memahami kondisi lokal mereka selain mereka sendiri.

Dalam pengembangan sistem agroforestri tersebut, petani tidak hanya menyumbang pengetahuan ekosistem lokal saja, tetapi pengalaman melakukan percobaan dan adaptasi teknologi dalam kondisi setempat juga sangat penting dan membantu mempercepat proses adopsi. Inovasi yang dihasilkan para petani dalam menghadapi masalah dan menyikapi peluang baru memberikan indikasi perbaikan potensial penting sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan bio-fisik yang harus mereka hadapi.

Prinsip-Prinsip Ekologi Dasar Sistem Agroforestri

Pengetahuan dan pengalaman agroekologi pertanian lokal dan pertanian berwawasan lingkungan di seluruh dunia memiliki beberapa prinsip ekologi dasar yang mengarah pada proses pengembangan agroforetsri. Perlu disadari bahwa selain prinsip-prinsip ekologi, prinsip lain yang meliputi sosio-ekonomi, dan politik juga memegang peranan yang tidak kalah penting.




Prinsip-prinsip ekologi yang mendasari pengembangan agroforestri di antaranya adalah:

1. Menciptakan kondisi tanah agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman, terutama dengan mengolah bahan organik dan memperbaiki kehidupan organisme dalam tanah.
2. Optimalisasi ketersediaan hara dan menyeimbangkan aliran hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, pemompaan hara, daur ulang dan penggunaan pupuk sebagai pelengkap.
3. Optimalisasi pemanfaatan radiasi matahari dan udara melalui pengelolaan iklim-mikro, pengawetan air dan pengendalian erosi.
4. Menekan kerugian seminimal mungkin akibat serangan hama dan penyakit dengan cara pencegahan dan pengendalian yang ramah lingkungan
5. Penerapan sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman hayati fungsional yang tinggi, dalam usaha mengeksploitasi komplementasi dan sinergi sumber daya genetik dan sumber daya lainnya.

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan strategis. Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh berbeda dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang dan keterbatasan setempat.

Petani agroforestri senantiasa menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usaha taninya, baik yang berasal dari dalam maupun yang dari luar sistem. Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks. Hambatan dari dalam misalnya yang terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah dan ketersediaan tenaga kerja dan modal. Hambatan dari luar misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah). Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri. Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan petani.

Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu :

1. Meningkatkan produktivitas sistem agroforestri,
2. Mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada
3. Penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).

Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.

Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.


Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:

1. menggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen
2. sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenagakerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem perkebunan monokultur.

Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti teknik-teknik konservasi lahan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.

Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan

Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang berkelanjutan adalah dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang produksi tanaman dalam jangka panjang, penggunaan tenaga kerja yang cukup rendah, tidak adanya kelaparan tanah, tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan air, rendahnya emisi gas rumah kaca serta terjaganya keanekaragaman hayati (Van der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah, terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.

Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro). Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktek-praktek agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.

Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri

memungkinkan menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak untuk sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing dengan sistem-sistem lainnya.

C. Pendekatan Pengembangan Agroforestri

Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga penelitian pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet, padi, dsb.

Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’, yang memprioritaskan petani (farmer first). Ada empat faktor yang

mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi, menolak, mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :

Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.

b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.

c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan ketersediaan kredit.

d. Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.

Selain keempat factor tersebut dibutuhkan dukungan lain:
(a) Kebijakan dan iklim ekonomi yang mendukung,
(b) Dukungan infrastruktur seperti sarana transportasi, kredit dsb,
(c) Lembaga penelitian yang dapat memberikan informasi tentang berbagai bentuk agroforestri dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
(d) Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam pengelolaan agroforestri.
Pendekatan pilihan teknologi ini sebenarnya mewakili pengertian agroforestri berdasarkan interaksi komponen dan pendukungnya dalam penggunaan sumber daya alam pada tingkat petani.

D. Agroforestri sebagai Hutan Pengendali Kelestarian Lingkungan

Agroforestri dapat dilihat sebagai konsep hutan yang memberikan sumbangan fungsi hutan sebagai pengendali lingkungan. Hutan tidak sekedar sebagai sumber kayu dan hasil hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi menjadi habitat bagi fauna dan flora serta menjadi penyeimbang lingkungan.

Seperti diketahui hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Fungsi hutan yang antara lain:

Penghasil kayu bangunan (timber). Banyak macam pepohonan yang tumbuh di hutan, sehingga hutan dapat menjadi sumber penghasil kayu bangunan dengan berbagai kualitas. Namun, adanya intensitas penebangan hutan yang cukup tinggi menyebabkan masa bera menjadi lebih pendek. Akibatnya fungsi hutan sebagai penyedia kayu bangunan telah bergeser menjadi penyedia kayu bakar saja yang lebih rendah nilai ekonominya.

Sumber NTFP (Non Timber Forest Product ~ Produk hutan non-kayu). Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Hutan bukan saja menyediakan kayu bangunan, tetapi juga obat-obatan, sayuran, keperluan rumah tangga lainnya (contohnya rotan, bambu dsb). Singkatnya masa bera akan menyebabkan perubahan iklim mikro sehingga banyak spesies sensitif yang berkurang populasinya dan akhirnya punah.

Cadangan karbon (C). Hutan penting untuk meningkatkan cadangan C di alam melalui peningkatan biomasa vegetasinya. Kemampuan hutan dalam mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Keberadaan hutan selain dapat menyeimbangkan keberadaan CO2 di udara, hutan dapat berfungsi sebangai penyeimbang suhu bumi dan mempengaruhi kestabilan iklim pada suatu daerah tersebut.

Habitat bagi fauna. Hutan merupakan habitat penting bagi beberapa fauna dan flora. Konversi hutan menjadi lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) berkurang.

Filter. Kondisi tanah hutan umumnya remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar.

Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat, sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Di sisi lain, peran hutan sebagai penyeimbang alam, peran hutan kepada masyarakat masih dirasa kurang. Penggunaan jasa lingkungan hutan berupa kayu-kayuan, serta hasil bumi yang dihasilkan dari vegetasi hutan masih dirasakan terbatas. Hal ini di sebabkan karena kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari pada kuantitas serta kualitas hutan itu sendiri.

Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Hal ini membawa berbagai konsekuensi terhadap berbagai aspekbiofisik, sosial dan ekonomi.

Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiridari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi.


Agroforestri memainkan peran yang penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya khas. Agroforest menciptakan kembali asitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro dan dalamnya sejumlah tanaman hutan alami mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora akan semakin besar bila dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber bibit.

Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami, 2002)

Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi atau lingkungan. Agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri memiliki:

1. Multi-jenis. artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian Trudy O’Connors (sumber CRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi. Pengendali hama (burung pemakan serangga), Pengendali gulma: burung pemakan biji rumput-rumputan, walaupun jenis burung pemakan biji ini dapat menjadi hama di sawah.

2. Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan penyakit

3. Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak keseimbangan ekologinya.

4. Penggunaan bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat ‘relung’ (niches) yang beragam tergantung pada kesuburan tanah,kemiringan lereng, kerentanan terhadap erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga

E. Agroforestri sebagai Model Pertanian Berkelanjutan

Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.

Selain itu percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang bebrbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.

Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat misal untuk bahan pangan, kayu bakar dan aneka buah-buahan. Bahkan agroforestri mampu menyumbang 50-80% pemasukan pertanian di pedesaan melalui produksi langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan pemasarana hasil

Dilain pihak produksi agroforestri selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Agroforestri pada umumnya masih dianggap sebagai kebun dapur yang tidak lebih dar sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya. Oleh sebab itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.

Keunikan konsep pertanian komersial agoforestri adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Dengan demikian akan menimbulkan beberapa akibat yang menarik bagi petani yang mengusahakannya. Aneka hasil kebun hutan sebagai tabungan (bank) karena pendapatan dari agroforestri dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks, damar, kopi, kayu manis, kayu bakar dan sebagainya.

Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang dialami bebrapa spesies seperti kayu damar dan kayu karet ketika kayu dar hasil hutan alami menjadi langka. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder agroforestri menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi petani (kebun dapur) seperti bahan pangan pelengkap misalnya sayuran, buah, rempah dan tanaman obat.

Pemberdayaan pertanian berkelanjutan dapat melibatkan sector perternakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroforestri. Ternak memanfaatkan tanaman untuk pakannya sebagai contoh adalah program Direktorat Pengemangan Peternakan (2003) yaitu pemeliharaan sapi potong di bawah kebun kelapa sawit. Peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri saat ini terkendala sehubungan dengan terbatasnya ketersediaan bibit ternak, pakan, lahan tempat usaha, modal dan daya saing. Perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk kawasan pengembangan ternak ruminansia karena potensial sebagai sumber bahan pakan ternak, tersedianya lahan usaha, infrastruktur, pasar dan modal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan perah, kambing/domba dapat dipelihara di bawah pohon kelapa sawit atau dengan jalan dikandangkan (sistem cut-and-curry). Manfaat lain adalah ternak dapat dijadikan sumber tabungan selain adatananya tanaman produktif yang telah di budidayakan. Kotoran ternak yang dihasilkan juga dapat dikelola dengan baik. Sehingga menghasilkan bahan tambahan berupa bahan organik pupuk kandang untuk budidaya tanaman.

Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993), sapi dan kerbau menghasilkan sejumlah besar kotoran per ekor per tahun. Kotoran tersebut mempunyai nilai ekonomis. Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan dijual sebagai pupuk kandang. Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk di tanah dan menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya. Nilai ekonomisnya, adalah bahwa petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi biaya untuk pupuk. Keuntungan lain dengan pemanfaatan ternak ruminansia, bahwa tidak perlu mencari lahan khusus untuk pemeliharaan sapi/ kerbau. Dibandingkan ternak nonruminansia, dalam hal mana cukup dapat diperlihara dengan sistem backyard farming

F. Bentuk-Bentuk Agroforestri

Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain. Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah:

1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim.
2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan cahaya, penyerapan air dan unsur hara.
3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman.
4. Perbedaan perkembangan tanah. Perubahan tanah berbeda berdasarkan sistem tipe agroforestri: (a) sistem rotasi, (b) kepadatan spasial dari sistem campuran, dan (c) spasial terbuka dari sistem campuran dan sistem zone spasial.
5. Banyak macam keluaran (output) (Cooper, 1996)

Berdasarkan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sistem agroforestri, maka model-model sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula. Sampai dengan saat ini, ada beberapa kelompok model agroforestri di antaranya adalah model-model yang menekankan:

1. Radiasi. Model tentang distribusi dan penangkapan cahaya serta naungan.
2. Pertumbuhan. Model yang menghubungkan faktor ketersediaan air (hujan) dengan pertumbuhan tanaman.
3. Tanah. Model simulasi proses yang terjadi dalam tanah, misalnya aliran air, erosi, siklus unsur hara (khususnya nitrogen) dan siklus bahan organik.
4. Ekonomi. Model dari nilai ekonomi sistem agroforestri, umumnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat.
5. Penggabungan. Model yang menggabungkan biofisik dan aspek ekonomi dari sistem agroforestri (Cooper, 1996)

Beberapa model Agroforestri yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut :

1. Agrisilvopastur “, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Sylvopastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak.
3. Agrosylvo-pastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
4. “Multipurpose forest “, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak

Teknologi Agroforestry dikawasan hutan di Jawa dilaksanakan dengan menggunakan bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan terakhir Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial. Tumpangsari berarti menduduki lahan hutan atau ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman pertanian , yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari dalam hal penerapan teknolologi pertanian yang digunakan, mencakup penggunaan teknologi sebagai berikut :

1. Penggunaan bibit unggul tanaman pertanian.
2. Perbaikanpengolahan dan konservasi tanah.
3. Penggunaan pupuk
4. Pemilihan waktu yang tepat untuk penanaman dan pemberian pupuk, sehubungan dengan waktunya turun hujan.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri mampu memberikan dan mempertahankan fungsi hutan dan agroforestri mampu dikembangkan dalam masyarakat pertanian sekaligus sebagai praktek pertanian secara berkelanjutan

A. Rekomendasi Pengelolaan Sistem Agroforestri

Pengelolaan sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon, tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat mengalami kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang terjadi dalam interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pengukuran dan pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu dalam

menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat ke dalam

tingkat ilmiah.

Penyediaan bibit yang berkualitas tinggi

Usaha agroforestri tidak jarang mengalami kegagalan, karena pertumbuhan pohon yang tidak baik sebagai akibat rendahnya mutu bibit yang dipilih.

Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam penyediaan bibit, maka masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemilihan bibit.

Pemilihan lokasi yang cocok (Tree-site-matching) dan pemasaran

Pemilihan lokasi yang tepat bagi jenis komoditi tertentu merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri. Penelitian tentang pola sebaran pepohonan pada skala bentang lahan merupakan informasi yang sangat berharga bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha agroforestrinya. Di samping itu, informasi pasar untuk produk pohon (kayu bangunan, buah-buahan dan rempah) akan banyak membantu petani dalam mengatur strategi pengelolaan lahannya.

Pengukuran tingkat pelayanan lingkungan agroforestri

Agroforestri memberikan pelayanan lingkungan antara lain mempertahankan fungsi daerah aliran sungai (DAS), penyerapan CO2 di atmosfer dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Masalah merosotnya kualitas lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan internasional, namun ketersediaan data kuantitatif masih belum banyak tersedia. Sebagai contoh, masalah kebakaran hutan yang melanda daerah luas dan terjadi pada waktu yang bersamaan pada tahun 1997, , CH4dan N2O) yang telah melebihi menyebabkan emisi gas rumah kaca (CO2) batas ambang yang diperbolehkan dari segi kesehatan.

Kebijakan Pemerintah

Penelitian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan agroforestri antara lain yang berhubungan dengan:

1. Jaminan penguasaan lahan (land tenure).
2. Pengadaan “pasar hijau” bagi produk yang ramah lingkungan dan pemberian ‘insentif’ bagi petani yang melaksanakannya.

DAFTAR PUSTAKA


Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.

Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.

Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.

Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008

Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from Central Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolik Soils anTheir Potential for Agriculture in Indonesia. Bulletin 3. Soil Researc Institute. pP:95-114.

Hairiah K, Widianto, SR Utami dan B Lusiana (editor). 2002. WaNuLCAS: model simulasi untuk sistem agroforestri. International Centre for Research in Agroforestry southeast Asian Regional Research Programme (ICRAF-SEA), Bogor.

Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandung 2 – 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294.

Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Timur. Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems. Mulawarman University. 163-178p.

Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5. Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.

Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J. Tanah Trop. 4:95-98.

McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998. Forest clearence: impact of landuse change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil. Land Degradation & Development. 9:425-440.

Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation. Greenland,D.J. and I. Szabolcs (editor). Soil resilience and sustainable land use. CAB International. p:99-118.

Narain, P. dan S.S. Grewal, 1994. Agroforestry for Soil and Water Conservation India Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Maitute, Dehra Dun 48 195 , India 8th International Soil and Water Conservation.Challenges and Opportunities. Vol. 2.


Rony, 2008. Pertanian Berkelanjutan. http://m4h4rony.wordpress.com/2008/02/09/pertanian-berkelanjutan/ diakses tanggal 25 Februari 2008.

Satjapradja, D., 1981. Agroforestri di Indonesia, Pengertian dan Implementasinya. Makalah. Seminar Agroforestri dan Perladangan, Jakarta.

Young A. 1997. Agroforestry for soil management Wallingford, UK.Chichakly K, J Gass, M Newcomb, J Pease and K Richmond. 1996. STELLA. High performance ystems, Inc. 45 Lyme Road, Hannover, NH 03755, USA

Raintree JB. 1983. Theory and practice of Agroforestry Diagnosis and Design. In: MacDicken KG and NT Vergara (eds). 1990. Agroforestry: Classification and FManagement. John Wiley & Sons, Inc. New York.

Tomich TP, M van Noordwijk, S Budidarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso, F Stole and AM Fagi. 1998. Alternatives to slash-and-burn in Indonesia. Summary report and synthesis phase II. ICRAF, Nairobi, Kenya.

Van der Heide J, S Setijono, Syekhfani MS, EN Flach, K Hairiah, S Ismunandar, SM Sitompul and M van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping systems on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Background of the Unibraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kota Bumi, Lampung Utara, Indonesia). Agrivita 15: 1-10.

Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.

3 komentar:

  1. Makasih Informasinya
    Silahkan kunjungi BLOG kami http://h0404055.wordpress.com
    Terdapat artikel yang menarik dan bermanfaat, apabila berkenan tolong silahkan beri komentar
    Salam Kenal dan Terima Kasih

    BalasHapus
  2. saya juga ingin menyimpan referensi ini terkait tesis saya....terima kasih sebelumnya ya..

    BalasHapus
  3. Togel merupakan game yang menjadi primadona di semua kalangan untuk saat ini. Dengan modal yang sangat kecil dan hadiah JACKPOT yang di berikan oleh MADAM TOGEL yang sangat besar menjadikan game togel hobi yang sangat bermanfaat bagi Anda yang sedang membutuhkan uang di masam pandemi saat ini.

    Untuk meraih JACKPOT yang sangat besar maka dibutuhkan keahlian dalam menentukan angka-angka yang akan dipasang agar menjadi angka yang tepat dengan hasil result yang keluar. Dalam menentukan Angka kali ini https://165.22.110.99/ sudah menyiapkan PREDIKSI MADAM TOGEL untuk menjadi referensi Anda dalam melakukan bettingan.

    Untuk pasaran yang cukup banyak digemari dan hasil result nya pada pukul 13.50, yaitu pasaran togel sydney. Anda semua bisa melihat di PREDIKSI TOGEL SYDNEY sebagai referensi.

    Pasaran yang banyak digemari pecinta togel kedua yaitu pasaran Singapore. Nah, untuk pasaran Singapore kita juga sudah siapkan PREDIKSI SINGAPORE dimana prediksi tersebut sudah dirancang oleh ahli togel dengan rumus-rumus yang hanya ahlinya yang tau^^.

    Sementara itu, pasaran togel Hongkong merupakan pasaran yang sangat ramai saat ini. Untuk memudahkan semua dalam mencapai JACKPOT dalam Togel Hongkong kita juga sudah menyiapkan prediksi yang sangat jitu dan sudah banyak diuji banyak player untuk mencapai jackpot. Jangan khawatir karena PREDIKSI HONGKONG ini berasal dari player-player yang berasal dari Hongkong langsung yang sudah dipastikan tidak asing lagi dalam dunia toto^^

    BalasHapus