Senin, 14 Desember 2009
Gambar UFO Terdeteksi di Virginia
Sabtu, 4 Juli 2009 | 08:22 WIB
KOMPAS.com — Apakah ini gambar UFO atau bukan? Amati dengan seksama gambar di sisi kiri dan silakan putuskan sendiri jawabannya. Namun, Denna Smith, seorang penulis di AS, meyakini betul apa yang disaksikannya.
Denna Smith yakin gambar lingkaran yang mengambang di langit tepat di atas taman wisata Kings Dominion, Virginia, adalah sebuah kapal ruang angkasa. Gambar itu direkam oleh Denna Smith dengan menggunakan kameranya.
Beberapa petugas di taman Kings Dominion menekankan bahwa lingkaran itu hanya merupakan asap yang dikepulkan oleh gunung berapi di sekitarnya. Namun, Denna Smith bersikeras mempercayai lingkaran itu sebagai benda dari ruang angkasa.
Smith menekankan bahwa lingkaran itu terbentuk dengan rapi dan tidak diliputi kepulan asap. Smith juga mengabadikan gambar itu dengan video yang telah ditempatkannya di YouTube.
Tayangan video itu mencapai hits dengan diunduh hingga 300.000 kali dalam waktu 1 pekan. Jaringan televisi CNN juga memuat kisah ini.
Ahli investigasi UFO, Cameron Pack, mengaitkan kisah yang diungkapkan oleh Denna Smith dengan kasus penampakan UFO sebelumnya. Menurut Cameron Pack, tayangan video Denna Smith serupa dengan rekaman video dari 2 insiden penampakan UFO terdahulu. Satu insiden berlangsung di Florida pada 1999 dan insiden lainnya di Fort Belvoir, Virginia, pada 1950-an.
UFO Terlihat di Langit Bantul
Kamis, 10 Desember 2009 | 08:51 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Penampakan unidentified flying object (UFO) kembali terjadi di Indonesia. Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, melihatnya secara langsung dari dalam pesawat yang ditumpanginya dan bahkan sempat merekam beberapa foto objek misterius itu dengan kameranya. Peristiwa tersebut terjadi pada 16 Oktober 2009 saat Dudi dalam penerbangan dari Jakarta menuju Yogyakarta menggunakan pesawat Lion Air Boeing 737-900ER dengan nomor penerbangan JT552.
Ia tak pernah mengira sebelumnya kalau benda yang dipotretnya adalah UFO. "Jadi, waktu itu pesawat kami harus berputar sekali sebelum mendarat karena Garuda akan mendarat lebih dulu. Ketinggiannya di bawah 5.000 kaki di atas Bantul. Saya tertarik melihat keluar karena langit biru sekali tanpa awan. Saya lihat ada logo Lion Air di sirip sayap kiri. Waktu saya mau memotret, tiba-tiba ada cahaya blitz istilahnya blinking," kata Dudi menceritakan awal-awal kesaksiannya kepada Kompas.com, Rabu (09/12/2009) malam lewat telepon.
Dudi pun melanjutkan niatnya memotret sirip pesawat dengan logo maskapai penerbangan tersebut dengan latar belakang langit yang sangat cerah. Ketika melihat hasilnya, ia sangat terkejut karena muncul titik-titik cahaya yang misterius di dua foto hasil pemotretannya. Dudi menggunakan kamera Nikon 40DX dengan lensa Nikkor 55 mm.
"Di foto pertama terlihat tiga titik, dua solid lainnya berupa asap atau awan. Saya potret lagi menjadi 9 titik, 3 padat, 6 lainnya awan," kata Dudi.
Pemotretan pertama dilakukan pukul 09.03 dan hanya berselang beberapa detik dengan pemotretan kedua. Titik-titik cahaya langsung menghilang begitu Dudi mencoba mengambil gambar ketiga. Ia yakin titik-titik cahaya tersebut melayang di arah sekitar sirip karena jika karena noda di jendela, seharusnya tidak hilang. Apalagi, pesawat yang digunakannya pesawat baru dan jendelanya jernih sekali.
Penasaran dengan penampakan yang dilihatnya, Dudi kemudian mengirimkan kedua foto tersebut kepada Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Adi Sadewo Salatun melalui e-mail. Menurut Dudi, rangkaian foto tersebut mengejutkan Adi karena begitu diperbesar terlihat seperti terjadi proses materialisasi dari gas ke solid. "Istilahnya morphing, benda berubah dari solid menjadi gas atau sebaliknya dalam waktu singkat," kata Dudi.
Morphing merupakan salah satu fenomena kemunculan benda terbang misterius yang sampai saat ini belum terpecahkan asalnya. Dudi termasuk beruntung karena penampakan seperti itu biasanya berlangsung sangat cepat dalam hitungan detik. Meski banyak laporan sejenis, biasanya tak sempat terekam kamera.
Apakah yang sebenarnya dilihat Dudi? Wahana mahkluk asing kah? Pesawat mata-mata kah? Atau fenomena cahaya yang sesungguhnya lumrah? Misteri itulah yang selama berpuluh tahun berusaha dipecahkan para ilmuwan sehingga muncul istilah "benda terbang tak dikenal" alias UFO.
Aktivitas Matahari Memengaruhi Perubahan Iklim
Senin, 14 Desember 2009 | 21:02 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDUNG, KOMPAS.com — Perubahan iklim global yang terjadi dalam beberapa dasawarsa terakhir ini tidak hanya ditentukan dari aktivitas manusia. Aktivitas siklus matahari juga diyakini turut memiliki andil terhadap terciptanya pemanasan global.
"Secara jangka panjang, faktor kosmogenik (aktivitas matahari) memiliki andil dalam perubahan iklim yang terjadi di bumi, meskipun itu tidak sebesar pengaruh yang dipicu faktor antropogenik atau aktivitas manusia," ucap peneliti utama bidang astronomi-astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, di Bandung.
Menurutnya, beberapa peneliti di dunia bahkan menuding bahwa aktivitas matahari dalam memicu perubahan iklim lebih dominan ketimbang faktor manusia. Hal ini ditandai sejumlah parameter, di antaranya memanasnya planet-planet lain di sistem tata surya, khususnya Planet Mars.
Menurutnya, paham atau penelitian yang meyakini bahwa matahari memiliki andil di dalam memicu pemanasan global di bumi masih terbilang jarang. Meskipun ia termasuk kelompok yang meyakini adanya faktor kosmogenik itu. Namun, hingga saat ini belum ditemukan mekanisme dan penjelasan memuaskan mengenai kaitan faktor itu.
"Ada yang mengatakan, itu karena pengaruh perubahan sinar kosmik akibat aktivitas matahari. Kosmik ray ini juga menjadi bagian yang penting dalam menentukan kondensasi dan liputan awan hujan di bumi. Ada juga yang mengatakan, itu tercipta akibat perubahan tekanan rendah-tinggi di lautan Pasifik dalam kaitan dengan El Nino dan La Nina," tuturnya.
Belum adanya mekanisme yang pasti, ucapnya, menjadi tantangan bagi peneliti, termasuk dirinya. Namun, ia mengatakan bahwa yang bisa dilakukan manusia hanyalah melakukan mitigasi dan adaptasi mengurangi dampak akibat faktor antropogenik. "Ya kalau aktivitas matahari kan alami, kita tidak bisa berbuat apa-apa," ungkap alumnus Astronomi ITB ini.
Menurut Dhani Herdiwijaya, ahli Fisika Matahari dari Institut Teknologi Bandung, tingkat radiasi medan magnetik matahari perlahan turun. Saat ini, tingkat radiasi berada di titik minimal. Dalam beberapa tahun terakhir, bintik matahari juga sangat jarang terbentuk.
"Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya masa es kecil yang disebut Maunder Minimum di abad ke-17. Yang orang-orang tahu saat ini, bumi tengah terjadi pemanasan global. Padahal, sebetulnya, kita juga tengah menghadapi kemungkinan kondisi global cooling," ujarnya.
Rabu, 25 November 2009
Seledri : Sembuhkan Alergi & Peracunan Darah
Selederi
Artikel Terkait:
Pembunuh Sel Kanker dari Kunyit
Resep Herbal untuk Anak Demam
Ditemukan! Kapsul Herbal Anti Kanker
Herbal Berpotensi Mirip Viagra
Tolak Angin Si Kunyit Putih
Kamis, 5 November 2009 | 12:25 WIB
KOMPAS.com - Seledri adalah sayuran yang tidak asing bagi kita. Ia sering kita temui dalam sayur sup, kuah bakso, dalam masakan capcay dan salad. Kehadirannya membuat masakan menjadi lebih sedap, karena ia memberi rasa dan aroma yang khas. Sayuran yang lebih segar dimakan mentah atau dimasak sebentar itu, sesungguhnya bukan hanya bermanfaat sebagai penyedap masakan saja, tetapi juga bisa dimanfaatkan sebagai obat.
Selain sebagai obat penyakit kulit, seledri sangat dianjurkan untuk mengatasi peracunan pada darah dan menyembuhkan alergi. Ia bisa dipakai sebagai obat tanpa campuran apapun, tetapi juga bisa dicampur dengan bahan lain misalnya dengan jus ketimun, wortel dan bit.
Obat Raja
Dari buku Heinerman’s Encyclopedia of Healing Juices karya John Heinerman dikatakan bahwa Raja Henry VIII dari Inggris (1491-1547) yang memiliki banyak selir menderita penyakit kulit pada wajah, tangan serta kakinya. Dengan penyakitnya itu penampilan Raja Henry sangat buruk.
Dia dikenal sebagai raja yang terpaksa membunuh beberapa selirnya karena mereka tak bisa menahan raja jijiknya terhadap sang raja. Sementara itu penyakitnya semakin parah. Mungkin ini diakibatkan kebiasaan makan sang raja yang terbilang rakus.
Raja yang gemar makan masakan daging berlemak, kue-kue manis, minuman anggur ataupun minuman keras, membuat kondisi kesehatannya semakin menurun, bahkan wajah dan bagian tubuh lainnya semakin buruk.
Dokter-dokter kerajaan mengobati sang rasa dengan berbagai macam saleb. Ternyata itu hanya sedikit memberi manfaat. Sampai akhirnya dokter istana mencoba memberi “obat alternatif ” seperti yang banyak dilakukan rakyatnya. Raja dianjurkan minum jus smallage yang di kemudian hari disebut sebagai jus seledri.
Beberapa batang seledri bersama daunnya ditumbuk, kemudian air perasannya yang sedikit itu diminumkan setiap hari. Setelah beberapa hari terlihat adanya kemajuan . Lambat laun kulit di wajah maupun di badannya semakin baik.
Pengobatan ini sebenarnya memberi hasil yang menggembirakan. Tetapi sayang, kebiasaan makan buruk sang raja membuat kemajuannya sangat lamban. Untung para dokternya sabar dan telaten, sehingga akhirnya rajapun bisa sembuh, walaupun dalam tempo yang lama.
Mengandung Alkaline
Menginjak paku karatan, kotoran masuk ke dalam luka, infeksi saluran kencing, luka bakar yang melebar adalah beberapa kasus yang menyebabkan terjadinya sepsi atau septicemia atau yang lebih dikenal sebagai peracunan pada darah.
Pengobatan dengan seledri yang mengandung garam mineral yang tinggi bisa membuat darah mengandung banyak alkaline. Padahal bakteri penyebab peracunan darah lebih cepat berkembang dalam darah yang berkondisi asam ketimbang darah berkondisi alkaline. Dengan hadirnya seledri kedalam tubuh akan sangat membantu melepaskan dari peracunan darah.
Sambiloto Tingkatkan Daya Tahan Tubuh
Sambiloto (Andrographis paniculata)
Artikel Terkait:
Seledri : Sembuhkan Alergi & Peracunan Darah
Bunga Kamboja, Penyegar bagi Penyandang Autis
Obat Ginjal, dari Kumis Kucing hingga Sambiloto
Pahit Sambiloto Modal Sukses Suprijanto
Rosella, Halau Hipertensi Sekuat Captopril
Selasa, 17 November 2009 | 08:26 WIB
KOMPAS.com - Karena kandungannya berkhasiat meningkatkan daya tahan tubuh, sambiloto diyakini mampu menangkal virus HIV/AIDS. Sebuah perusahaan di Amerika Serikat sudah mematenkan tanaman ini. Di Indonesia, tanaman ini terserak di sembarang tempat.
Sambiloto termasuk dalam familia atau suku acanthaceae. Tanaman yang daun dan batangnya pahit ini dapat tumbuh pada ketinggian 700 m dpl. Tanaman ini sering kali dijumpai orang di pekarangan rumah. Bahkan tanaman ini juga tumbuh liar di tempat-tempat terbuka seperti ladang, sisi-sisi jalanan atau di tanah kosong yang terbengkalai.
Sambiloto merupakan suatu terna yang tumbuh tegak, dengan tinggi mencapai 90 cm. Batangnya berbentuk segi empat dan bercabang banyak. Tanaman ini mempunyai daun tunggal yang saling berhadap-hadapan, panjangnya 2-8 cm dan lebar 1-3 cm. Tanaman ini juga berbunga sepanjang tahun. Berwarna putih atau ungu, tersusun dalam rangkaian berupa tandan yang tumbuh pada ujung-ujung tangkai.
Sambiloto juga mempunyai buah yang bentuknya memanjang sampai jorong. Panjang buahnya itu sekitar 1,5 cm, lebar 0,5 cm serta pangkal dan ujungnya runcing. Bila sudah matang buahnya itu akan berwarna hitam dan akan pecah membujur menjadi empat keping. Biji tumbuhan ini gepeng, kecil, warnanya coklat muda.
Sambiloto mempunyai kandungan zat yang khas berupa andrographolide. "Zat andrographolide ini tidak ada di tanaman lain" ungkap Ir. Winarto, pemilik kebun tanaman obat Karyasari. Selain andrographolide tanaman ini juga mempunyai kandungan zat panicolin. "Makanya berdasarkan dua unsur zat itu sambiloto diberi nama andrographis paniculata" ujar Winarto lagi.
Andrographolide dan panicolin itu memang spesifik. Fungsi utamanya sebenarnya adalah meningkatkan daya tahan tubuh. Makanya di Amerika Serikat, sambiloto sudah dipatenkan sebagai obat penyakit AIDS.
Menjadikan suatu tanaman menjadi obat tidaklah gampang. Karena berkaitan dengan pemasaran serta kepercayaan masyarakat. Bila kita berbicara mengenai uji klinis, kebanyakan semua dilakukan di luar negeri. Di samping biayanya yang besar, tenaga ahlinya di sana banyak. Karena itu perusahaan luar negeri berani mematenkan sambiloto sebagai obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
Kebanyakan pengobatan tradisional di Jawa, sambiloto diminum sebagai bahan untuk mengobati berbagai penyakit karena dia bersifat antibiotik. Bahan yang biasanya diambil pada sambiloto bisa batang atau daun. "Karena tanaman ini berumur semusim. Daun dan batangnya bisa dicabut sekaligus lalu direbus semua" tambah Winarto lagi.
Masih menurut Winarto, umumnya kalau kita mau meminum sehari 2 gelas ramuan sambiloto, maka daya tahan tubuh kita akan meningkat dan tidak mudah terserang penyakit. Caranya: 10 gram daun kering diberi air 4 gelas lalu direbus hingga airnya tersisa 2 gelas. Sering tidaknya kita minum rebusan sambiloto tergantung dari keadaan badan kita. Bila menderita penyakit serius, maka bisa minum lebih banyak daru itu. Untuk kasus-kasus gigitan serangga sambiloto sangat mujarab. Sedikit ditumbuk lalu dimamarkan ke kulit yang terkena gigitan, gatal-gatal di kulit akan cepat hilang.
Tapi, "Karena rasanya pahit, untuk sekedar pencegahan penyakit bisa minum olahan sambiloto 1/2 gelas saja sehari, tidak perlu sampai 2 gelas. Atau kalau Anda tidak suka rasa pahit, Anda bisa menelan ramuan sambiloto itu dalam bentuk kapsul. Caranya, masukkan saja bubuk dari daun sambiloto kering ke dalam kapsul. Tapi untuk orang yang terkena tekanan darah rendah, minum olahan sambiloto malah akan menambah tekanan darahnya menjadi drop," ungkap Winarto mengingatkan. Jadi hati-hati Anda yang punya tekanan darah rendah. @ Hendra Priantono
Selasa, 17 November 2009
NASA Persiapkan Atlantis untuk Misi ke ISS
NASA
Pesawat ulang alik Atlantis dipersiapkan di Kennedy Space Center
Artikel Terkait:
Pesawat Ulang Alik AS Vakum hingga 2014
Senin, 16 November 2009 | 09:31 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.com — Badan antariksa AS, NASA, mempersiapkan pesawat ulang alik Atlantis dan tujuh astronotnya untuk peluncuran pada hari Senin (16/11) waktu setempat. Atlantis direncanakan terbang ke stasiun ruang angkasa internasional (ISS) untuk mengirimkan beberapa suku cadang dan melengkapi struktur ISS.
Peluncuran dijadwalkan pukul 02.28 dini hari waktu setempat (atau Selasa pagi pukul 03.28 WIB) dari Kennedy Space Center dekat Cape Canaveral, Florida.
"Atlantis siap diluncurkan dan berada dalam kondisi yang bagus," ujar manajer peluncuran, Mike Moses, dalam konferensi pers yang ditayangkan stasiun televisi NASA, hari Minggu kemarin.
Sementara Kathy Winters, pimpinan meteorologi peluncuran menyatakan bahwa cuaca di Kennedy Space Center diperkirakan akan sangat baik untuk peluncuran hari Senin. Hanya ada 10 persen kemungkinan cuaca bakal memburuk sehingga peluncuran harus ditunda.
Dipimpin Kolonel Marinir Charlie Hobaugh, tujuh awak yang semuanya pria tiba hari Kamis di Kennedy Space Center dari Houston, Texas, basis mereka.
Misi yang akan berlangsung 11 hari dan akan menjadi misi kelima dan terakhir pada tahun 2009 ini mengagendakan tiga spacewalks untuk memasang peralatan di bagian luar stasiun.
Adapun pengiriman suku cadang ke ISS dirancang agar pos di luar angkasa itu tetap bisa berfungsi meski armada pesawat ulang alik dipensiunkan. Hingga September 2010 hanya direncanakan lima peluncuran pesawat ulang alik lagi sebelum semua pesawat dipensiunkan.
Secara keseluruhan, misi kali ini akan mengirimkan suku cadang seberat 12.360 kilogram, termasuk dua gyroscope pengendali yang digunakan untuk menggerakkan stasiun.
Byur... 25 Galon Air Muncrat dari Permukaan Bulan
NASA
Satelit LCROSS saat melepas Centaur untuk ditabrakkan ke Bulan sebelum menabrakkan diri sendiri.Senin, 16 November 2009 | 08:14 WIB
LOS ANGELES, KOMPAS.com — Sungguh mengejutkan hasil eksperimen penembakan proyektil yang dilakukan badan antariksa AS (NASA) ke permukaan Bulan belum lama ini. Betapa tidak, meski hanya menghasilkan lubang kecil, tembakan tersebut menyebabkan sekitar 25 galon atau hampir 100 liter air muncrat dari permukaan Bulan dalam bentuk es dan uap air.
"Kami menemukan air. Dan kami tidak hanya menemukan dalam jumlah sedikit. Kami menemukan kandungan yang signifikan," ujar Anthony Colaprete, ilmuwan NASA saat mengumumkan hal tersebut, Jumat (13/11). Temuan ini semakin meyakinkan para ilmuwan bahwa Bulan makin cocok dijadikan tempat tinggal alternatif bagi manusia.
Kandungan air yang cukup besar akan memudahkan pembangunan fasilitas penelitian di Bulan seperti yang dicita-citakan selama ini. Selain untuk memenuhi kebutuhan air minum, air juga penting dalam pembuatan bahan bakar roket.
Untuk memperoleh bukti adanya air, NASA harus mengorbankan satelit Lunar Crater Observation and Sensing Satellite (LCROSS) yang diluncurkan bersama dengan misi Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) pada 18 Juni 2009. LRO menempatkan diri di orbit Bulan, sedangkan LCROSS memisahkan diri dan melenting beberapa kali ke orbit Bulan dan Bumi untuk meningkatkan kecepatannya hingga melesat seperti peluru sebelum menumbuk Bulan.
Setelah melakukan perjalanan selama 113 hari dengan menempuh jarak 9 juta kilometer, LCROSS kemudian menghunjam ke permukaan Bulan. Sebelum menabrakkan diri, sebuah roket bernama Centaur lebih dulu dilepaskan untuk menghasilkan efek tabrakan ganda berselang empat menit. Tabrakan yang diarahkan ke sebuah kawah Cabeus dekat kutub selatan Bulan itu menghasilkan muncratan setinggi hampir dua kilometer.
Ini memang bukan kabar pertama penemuan air di Bulan. Pada misi-misi sebelumnya pernah terungkap adanya kemungkinan kandungan hidrogen yang merupakan unsur penting pembentuk air di kawah-kawah Bulan dekat kutubnya dalam bentuk padat. Pada September 2009, sebuah kajian ilmiah juga menyimpulkan bahwa tanah Bulan mengandung elemen air.
NASA Sukses Uji Coba Prototipe Roket Ares I-X
NASA
Roket Ares I-X
Artikel Terkait:
Roket Baru NASA Coba Diluncurkan Lagi Hari Ini
NASA Segera Uji Coba Peluncur Roket ke Bulan
Rabu, 28 Oktober 2009 | 22:51 WIB
CAPE CANAVERAL, KOMPAS.com - Sempat tertunda sehari karena cuaca buruk, prototipe roket yang akan digunakan untuk mengirimkan kembali manusia ke Bulan akhirnya sukses diluncurkan. Uji coba peluncuran roket Ares I-X dilakukan dari Kennedy Space Center, Florida.
Dalam peluncuran ini, roket tersebut belum membawa awak satupun maupun beban apapun. Prototipe roket ini baru dipakai untuk menguji tahap pertama proses pembakaran bahan bakar booster (pendorong) roket tersebut. Secara teori, proses pembakaran tersebut seharusnya membutuhkan waktu dua menit. Karenanya, booster tersebut selanjutnya akan dijatuhkan di Samudera Atlantik dan akan dipungut kembali untuk dianalisis.
Roket Ares I-X memiliki ukurana tinggi sekitar 100 meter atau hampir dua kali lipat panjang sebuah pesawat ulang alik. Ia akan menjadi kendaraan utama transportasi antariksa masa depan begitu program pesawat ulang alik dihentikan tahun 2010. Pengembangannya merupakan tahap awal ambisi AS untuk kembali mengirimkan manusia ke Bulan.
Molekul Organik Kembali Ditemukan di Planet Ekstrasolar
NASA
HD 209458bRabu, 21 Oktober 2009 | 22:00 WIB
PASADENA, KOMPAS.com — Para ilmuwan NASA kembali mendeteksi sebuah planet asing di luar tata surya (planet ekstrasolar) yang mengandung molekul organik. Planet tersebut memang mustahil dihuni makhluk hidup karena berwujud planet gas yang sangat panas. Akan tetapi, planet tersebut bisa memberikan banyak informasi baru soal sejarah kehidupan.
"Ini merupakan planet kedua di luar sistem tata surya kita yang mengandung air, metana, dan karbon dioksida, komponen-komponen penting dalam proses biologi di planet-planet yang mungkin dapat dihuni," ujar Mark Swain, peneliti dari Laboratorium Propulsi Jet NASA di Pasadena, AS. Planet tersebut berhasil diamati dengan dua teleskop canggih, yakni Teleskop Ruang Angkasa Hubble dan Teleskop Ruang Angkasa Spitzer.
Molekul-molekul tersebut terdeteksi dengan instrumen spestroskopi yang mampu memisahkan sebuah rekaman berdasarkan pantulan cahaya dengan panjang gelombang berbeda. Data teleskop Hubble menggunakan kamera inframerah dan spektrometer multiobyek mengungkap molekul-molekul tersebut, sedangkan fotometer dan spektrometer inframerah Spitzer mengukur kadar kandungannya.
Planet bernama HD 209458b itu merupakan planet gas raksasa yang ukurannya lebih besar daripada Planet Jupiter. Planet ini mengorbit sebuah bintang mirip matahari yang berada di konstelasi Pegasus, sekitar 150 tahun cahaya dari Bumi. Sebelumnya, para peneliti NASA mendeteksi planet asing pertama yang mengandung komponen-komponen organik di planet HD 189733b pada Desember 2008.
2012, Matahari, dan Bosscha
SHUTTERSTOCK
Matahari menyerang bumi dengan badai geomagnetik
Artikel Terkait:
Kiamat Tahun 2012 Dibantah
Cacat Bukan Berarti Dunia Kiamat (2)
Cacat Bukan Berarti Dunia Kiamat (1)
Mungkinkah Tanda-tanda Kiamat Itu Sudah Terlihat?
Sebuah Planet Asing Dekati Kiamat
Rabu, 11 November 2009 | 05:01 WIB
Ninok Leksono
KOMPAS.com - Kalau menyimak wacana tentang Kiamat 2012 yang disebut berdasarkan sistem kalender Maya, argumen pentingnya ada di sekitar Matahari. Antara lain disebutkan, pada tahun 2012 aktivitas Matahari, yang sudah dimulai sejak tahun 2003, akan mencapai puncaknya. Selain itu, Matahari dan Bumi akan berada segaris dengan lorong gelap di pusat Galaksi Bima Sakti.
Tentu, Matahari amat sentral bagi Tata Surya, khususnya Bumi dan kehidupan yang ada di biosfernya. Jika ada peningkatan aktivitas di sana, Bumi pasti akan kena pengaruh. Namun, Matahari sudah rutin menjalani siklus aktivitasnya—yang berperiode 11 tahun itu—selama lebih dari empat miliar tahun dan sejauh ini baik-baik saja.
Kini, seiring dengan merebaknya buku tentang Kiamat 2012, juga film-film Hollywood tentang tema yang sama, juga muncul bantahan, tidak saja dari pimpinan suku Maya, tetapi juga dari kalangan astronomi. Mudah dimengerti kalau kalangan astronomi lalu bersuara. Ini karena penyebar kabar Kiamat 2012 banyak menyebut benda langit, seolah hal itu dapat menguatkan skenario yang mereka usung.
Padahal, dasar skenario itu sendiri, yakni kalender Maya, tidak berbeda jauh dengan kalender modern. Kalau kalender Maya punya berbagai macam siklus dengan panjang berlain-lainan, kita juga punya hal serupa. Jadi, kalau kalender Maya akan berakhir tanggal 21 Desember 2012, itu untuk kita bisa terjadi misalnya pada tanggal 31 Desember 1999. Esok hari setelah tanggal itu, yakni 1 Januari 2000, akan dimulai siklus baru, apakah itu yang berdasarkan hari, tahun, puluhan tahun, abad, atau milenium.
Seperti sudah kita saksikan, berakhirnya siklus macam-macam pada tanggal 31 Desember 1999 tidak disertai dengan kiamat bukan?
Bagaimana dengan perjajaran antara Bumi, Matahari, dan pusat Galaksi Bima Sakti? Penyebar kiamat menyebutkan, saat perjajaran akan menimbulkan gaya pasang yang akan memicu gempa bumi yang menghancurkan untuk menamatkan riwayat dunia. Gaya pasang yang sama juga akan memicu badai matahari yang akan menghancurkan Bumi. Bahkan, untuk menambah efek, planet-planet juga disebut akan berjajar pada tanggal 21 Desember 2012.
Ternyata, setelah diperiksa dengan saksama, Matahari tidak akan menutupi (menggerhanai) pusat galaksi. Bahkan, kalaupun Matahari bisa menutupi pusat galaksi, efek pasang dapat diabaikan, tulis Paul A Heckert yang dikutip pada awal tulisan ini.
Dengan penjelasan itu, skenario Kiamat 2012 tidak perlu dianggap serius.
Berdasarkan teori evolusi (lahir dan matinya) bintang, di mana Matahari adalah salah satunya, Matahari memang sekitar lima miliar tahun lagi akan mengembang menjadi bintang raksasa merah yang akan memanggang Bumi. Namun, bukankah lima miliar tahun masih jangka waktu yang amat, amat lama untuk ukuran manusia?
Namun, demi tujuan-tujuan lebih praktis, misalnya untuk mengetahui hubungan aktivitas Matahari dan gangguan komunikasi, atau untuk mengetahui lebih dalam tentang sifat-sifat Matahari, studi tentang Matahari tetaplah hal penting. Dan inilah rupanya yang diperlihatkan oleh Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat.
Penelitian Bosscha
Selama ini, Observatorium Bosscha lebih dikenal dengan penelitiannya di bidang struktur galaksi dan bintang ganda. Penelitian Matahari secara intensif dan ekstensif dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Namun, Sabtu 31 Oktober lalu, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) yang diwakili oleh Dekan FMIPA Akhmaloka meresmikan teleskop matahari tayang langsung (real time). Sistem pengamatan Matahari yang terdiri dari tiga teleskop yang bekerja pada tiga panjang gelombang berlain-lainan ini dibuat dengan bantuan dari Belanda dan rancang bangunnya banyak dikerjakan oleh peneliti dan insinyur ITB sendiri.
Sistem teleskop yang dilihat dari sosoknya jauh lebih kecil dari umumnya teleskop yang ada di Bosscha ini terdiri dari teleskop yang bekerja pada gelombang visual, di mana untuk mendapatkan citra Matahari, sinarnya dilemahkan dulu sebesar 100.000 kali. Untuk pemantauan, citra Matahari diproyeksikan pada satu permukaan yang dapat dilihat dengan aman. Ini diperlukan karena selain untuk penelitian, fasilitas ini juga digunakan untuk pendidikan masyarakat.
Dua teleskop lainnya masing-masing satu untuk penelitian kromosfer rendah dan satu lagi untuk penelitian kromosfer tinggi.
Menambah semarak peresmian, hadir pula ahli fisika matahari dari Belanda, Rob Rutten, yang pagi itu menguraikan tentang kemajuan penelitian fisika matahari dan tantangan yang dihadapi.
Membandingkan materi paparannya, yang dilengkapi dengan citra hidup Matahari berdasarkan pemotretan menggunakan teleskop matahari canggih, tentu saja apa yang diperoleh oleh teleskop di Bosscha bukan bandingannya.
Kontribusi Indonesia
Direktur Observatorium Bosscha Taufiq Hidayat dalam sambutan pengantarnya menyebutkan, lembaga yang dipimpinnya beruntung masih dapat terus menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga di luar negeri untuk mendukung aktivitas ilmiahnya. Sementara peneliti Matahari di Bosscha, Dhani Herdiwijaya, selain menguraikan berbagai aspek riset tentang fisika matahari juga menyampaikan harapannya untuk mendapatkan hasil penelitian detail tentang Matahari.
Peresmian teleskop surya di Bosscha tampak sebagai momentum bagi bangkitnya minat terhadap riset Matahari.
Seiring dengan peringatan Tahun Astronomi Internasional 2009, berlangsung pula peringatan 400 tahun pengamatan bintik matahari. Dalam konteks ini, masih banyak tugas manusia untuk mendalami lebih jauh serba hal tentang Matahari, bintang yang menjadi sumber kehidupan di Bumi. Alam seperti yang ada sekarang ini, menurut skenario Ilahi, masih akan terbentang lima miliar tahun lagi, bukan sampai tahun 2012.
Ilmuwan Pun Masih Bingung...
AFP/AUSTRALIAN ANTARCTIC DIVISION/BRETT QUINTON
Foto di atas diambil pada 7 November lalu. Divisi Antartika Australia memublikasikannya pada Jumat (13/11). Foto ini menunjukkan potongan es yang meluncur di Teluk Bauer, pantai barat Australia di bagian sub-Antartika di Pulau Macquarie. Ahli es Divisi Antartika Australia, Neal Young, mengatakan, potongan es tersebut merupakan bagian besar yang terlepas dari Dasar Es Ross sekitar satu dekade lalu.
Artikel Terkait:
Kejar Target Penurunan Emisi, Indonesia Kerja Sama dengan Australia
Ruang Terbuka Harus Ditambah 14.356 Hektar
2030, Indonesia Potensi Kurangi 60 Persen Emisi Karbon
Jepang Akan Kurangi Emisi Karbon 15 Persen
IATA Targetkan Pertumbuhan Nol Karbon Tahun 2020
Selasa, 17 November 2009 | 08:22 WIB
KOMPAS.com - Negara-negara maju (baca: negara-negara industri) saat ini kebingungan. Mereka khawatir ditagih janjinya oleh negara-negara berkembang atas ”utang karbon dioksida” sejak abad ke-18. Hal itu karena salah satu mekanisme untuk menahan laju pemanasan global adalah mengerem emisi karbon dioksida.
Karbon dioksida (CO) telah menjadi ”penjahat pemanasan global”. Pemanasan global adalah pemicu berbagai fenomena iklim ekstrem yang membuahkan berbagai bencana di berbagai belahan dunia.
Untuk mengerem emisi CO, negara-negara maju diwajibkan mengurangi emisi gas rumah kaca—diekuivalenkan dengan emisi CO atau emisi karbon—melalui kesepakatan Protokol Kyoto. Ternyata sulit. Mereka mengeluhkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi akibat mengerem emisi karbon. Alhasil, janji itu tak terpenuhi.
Yang sekarang dihadapi dunia adalah pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC), 7-18 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark, (nyaris) bisa dipastikan tak akan ada kesepakatan baru. Padahal Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada 2012.
Untuk memenuhi janji tersebut, mereka juga bisa ”membeli” pengurangan emisi karbon dari negara berkembang atau miskin. Dengan itu, dana akan mengalir ke negara berkembang.
Jelas bahwa negara-negara kaya tidak akan mau menyerahkan dana ratusan miliar dollar kepada negara miskin hanya atas dasar kepercayaan.
Di balik itu semua sebenarnya para ilmuwan pun masih kebingungan. Padahal, skema ”membayar utang karbon” tersebut membutuhkan bukti-bukti konkret pengurangan emisi.
Masalahnya, saat ini belum dimungkinkan memonitor emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil atau deforestasi.
”Sistem kami saat ini tidak cukup bagus untuk bisa membandingkan (emisi karbon) satu negara dengan negara lain. Saya rasa densitas pengamatan itu membutuhkan dua tingkatan magnitude (ukuran),” ujar Pieter Tans dari badan kelautan dan atmosfer nasional Amerika Serikat (NOAA) di Boulder, Colorado, AS.
Butuh audit
Ketika kepercayaan belaka tak cukup untuk mengatasi persoalan pemanasan global dan emisi karbon dunia, yang dibutuhkan adalah sebuah proses audit, pelaporan, dan pengukuran emisi karbon di suatu negara.
Hal itulah yang kemudian menjadi fokus dari pembicaraan kesepakatan global yang dilakukan maraton dan tampaknya menemui jalan buntu.
Yang pasti, pihak PBB berharap konferensi di Kopenhagen bisa menghasilkan kesepakatan dengan kewajiban yang lebih berat bagi negara-negara maju.
Negara-negara berkembang sekarang menekan negara maju. Mereka menginginkan, dalam kesepakatan baru yang berlaku 2013 itu negara maju bersedia mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2020 dengan 25-40 persen di bawah emisi karbon tahun 1990. Juga, negara maju dituntut mengucurkan dana miliaran dollar serta memberikan teknologi ramah lingkungan kepada negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang yang maju ekonominya dituntut menekan emisinya. Negara-negara itu adalah China, India, Indonesia, dan Brasil. Emisi karbon dari negara-negara tersebut masuk dalam 10 besar emiter terbesar dunia. ”Jika tak ada sistem obyektif untuk menakar kesuksesan (suatu negara), bisa-bisa orang menuntut hal-hal di luar kemampuan negara tersebut,” ujar Tans dari Laboratorium Riset Sistem Bumi, NOAA.
Sangat bervariasi
Kemampuan dari setiap negara untuk mengukur emisinya jelas berbeda-beda tergantung dari kemajuan iptek tiap negara.
Negara-negara kaya, seperti Australia dan Amerika Serikat, telah mengembangkan metode pelaporan yang bisa diandalkan. Laporan itu mengenai penggunaan energi dan emisi bahan bakar fosil.
Menurut Pep Canadell dari Global Carbon Project, ”Sangat bervariasi. Di negara berkembang laporannya tidak terlalu akurat.” Menurut dia, sampai sekarang emisi China dari batu bara, minyak, dan gas dilaporkan 20 persen lebih rendah.
Pihak NOAA membangun jaringan pengujian udara global untuk menunjukkan betapa konsentrasi gas rumah kaca terus berubah seiring waktu. Saat ini konsentrasi karbon mendekati 390 bagian per juta (ppm)—bandingkan dengan 280 ppm pada awal era revolusi industri pada abad ke-18. Jika konsentrasi mencapai 450 ppm, temperatur Bumi akan meningkat 2 derajat celsius.
Berbagai negara telah melaporkan emisi gas rumah kaca ke Pusat Data Global Badan Meteorologi Dunia. Tujuannya, untuk mendapatkan peta emisi karbon musiman dan tahunan.
Namun para ilmuwan mengakui, butuh sekurangnya satu dekade atau dua dekade untuk menemukan sistem pengawasan yang akurat agar mampu menghitung emisi dari bahan bakar fosil, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan. Persoalan lain adalah bagaimana menghitung besar penyerapan karbon oleh pohon dan lautan—keduanya sekaligus berfungsi sebagai emiter karbon.
Kesulitan lain, gas karbon selalu bergerak ke mana-mana akibat embusan angin. Bagaimana prosesnya, para ilmuwan belum menemukan jawabannya. Yang sudah dilakukan adalah melakukan simulasi ”sederhana” dengan model komputer.
Akibat dari segala kebingungan ilmiah tersebut adalah, ”Bagi saya tak ada hubungan antara perdagangan emisi dan verifikasi yang dibutuhkan untuk itu, dengan apa yang sebenarnya kita ukur,” ujar Britton Stephens dari NCAR di Boulder.
Para ilmuwan saat ini memang masih kalah dalam bernegosiasi dengan para politikus dunia. Buktinya, perdagangan karbon terus saja mendapat dukungan. Padahal...??? (ISW)
Warga Diancam Oknum Pemerintah Agar Menolak Greenpeace
GREENPEACE/FB ANGGORO
Aktivis GreenpeaceMinggu, 15 November 2009 | 17:30 WIB
PEKANBARU, KOMPAS.com - Sejumlah aktivis Greenpeace membatalkan keputusan mereka untuk meninggalkan hutan rawa gambut Semenanjung Kampar, Riau dengan tetap bertahan di kamp perlindungan iklim menyusul didapatkannya dukungan dari warga setempat.
"Kami menarik keputusan kemarin dan menyatakan tetap bertahan di rawa gambut ini karena diminta warga," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, di Semenanjung Kampar, Riau, Minggu (15/11).
Sebelumnya, ratusan warga dari Semenanjung Kampar mendatangi Kamp Perlindungan Iklim Greenpeace yang berada di tepi Sungai Kampar dan menyatakan dukungan agar para penggiat lingkungan itu tidak ke luar dari daerah itu.
Menurut warga, jumlah masyarakat yang menolak kehadiran Greenpece di Semenanjung Kampar dan melakukan demonstrasi sehari sebelumnya jauh lebih sedikit dibanding warga yang mendukung.
Karena sejak para penggiat lingkungan itu hadir dan kemudian mendirikan kamp yang bertujuan menyelamatkan hutan Indonesia, membawa dampak positif bagi warga khususnya terkait ancaman kerusakan hutan alam di daerah itu.
Bustar membantah jika aksi dukungan warga tersebut merupakan manuver terhadap perlawanan masyarakat yang tidak menginginkan Greenpeace. Pihaknya juga mengaku tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk aksi dukungan tersebut.
Pihaknya juga telah berkonsultasi baik dengan kuasa hukum atau kepolisian setempat dan keputusan Greenpeace untuk tetap bertahan di area lahan gambut itu bukan merupakan tindakan yang melawan hukum.
"Opini terjadi penolakan di tengah masyarakat merupakan hal yang tidak benar, namun sepenuhnya diserahkan kepada keputusan aparat hukum setempat," katanya.
"Secara profesional, jika polisi ingin mengusir kami silakan, tapi kami akan tetap bertahan bersama masyarakat," tegasnya.
Di lokasi itu warga mendukung Greenpeace setelah sehari sebelumnya mereka ikut berdemonstrasi. Mereka mengaku menyesal dan menyatakan ketidaktahuan kalau mereka telah diperalat.
Suwandi (20), warga Desa Teluk Meranti, mengatakan, beberapa hari sebelum aksi penolakan itu digelar tekanan dan ancaman yang didapat warga dari aparatur pemerintah setempat cukup tinggi.
Bagi mereka yang berstatus sebagai guru honor akan diberhentikan dan bagi mereka yang berstatus pegawai negeri sipil diancaman mutasi jika tidak mendukung hengkangnya Greenpeace dari kawasan hutan alam itu.
"Warga telah dibodohi, diadu domba dan diperalat. Jika mereka tetap mengusir Greenpeace maka PT Riau Andalan Pulp and Paper juga harus diusir karena telah merusak hutan kami," ujarnya.
Wah, Ada Jamur Keluarkan Asap
KONTAN/CHEPPY A MUCHLIS
Jamur Merang
Artikel Terkait:
Lestari, Mandiri dengan Budidaya Jamur
Jamur Kuning Anti Kanker Payudara
Jamur Reishi, Penghambat Kanker
Rabu, 18 November 2009 | 00:30 WIB
TASIKMALAYA, KOMPAS.com - Jamur raksasa berdiameter lebih dari 50 centimer yang ditemukan warga di Dusun Batunungul, Kelurahan Cipari, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Minggu (15/11) mengeluarkan asap tipis.
Warga setempat yang menjaga jamur raksasa, Engkus, di lokasi penemuan jamur, Selasa mengatakan kondisi jamur yang masih utuh selama tiga hari terkadang mengeluarkan asap tipis dari batangnya. "Kadang-kadang dari jamur itu keluar asap sedikit," katanya.
Ia menerangkan, timbulnya asap dari jamur raksasa dialami juga oleh beberapa pengunjung yang beruntung melihat langsung fenomena asap dari jamur raksasa. "Sesekali pengunjung juga melihat jamur itu berasap, tapi tidak terlalu lama asap itu tiba-tiba hilang," katanya.
Menurut Engkus, jika jamur raksasa diperhatikan secara seksama dengan sabar maka akan menimbulkan asap meskipun munculnya asap dari jamur tersebut tidak tentu. Ia yakin asap tersebut berasal dari batang jamur dan bukan dari proses pembakaran disekitar lokasi ditemukannya jamur raksasa.
"Asap itu benar-benar keluar dari batang pohon, dan saya yakni bukan dari asap rokok atau warga yang sedang membakar sampah," katanya.
Namun kata Engkus dugaan lain dari kemunculan asap tersebut diakibatkan dari pembakaran cahaya matahari yang memanas pada batang tumbuhan jamur. Menurutnya terik matahari bisa mengakibatkan jamur tersebut berasap tipis karena lebabnya jamur yang terjemur oleh matahari sehingga terjadi proses penguapan.
"Mungkin saja karena terik matahari, tapi yang saya lihat itu asap munculnya dari batang jamur," katanya.
Sementara itu kabar terjadinya timbul asap dari jamur raksasa mengundang warga setempat beramai-ramai mendatangi jamur tersebut untuk melihat kebenaran memunculkan asap. "Setelah ada kabar asap, disini semakin ramai dikunjungi warga," katanya.
Senin, 16 November 2009
Minggu, 15 November 2009
AGROFORESTRI SEBAGAI BENTUK PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT BERKELANJUTAN DAN SALAH SATU PENGENDALI LINGKUNGAN
mba Anastasia Intan Sawitri saya pinjam makalahmu sebentar, saya simpan dulu di blog saya coz ada tugas dari dosen untuk membuat power point ttg pola pengembangan agroforestry dan tugasnya sesui dengan punyanya mba, klo udah selesai nanti saya hapus...sebelumnya makasih banyak..........
A. Pertumbuhan Penduduk dan Permasalahan Fungsi Lahan
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi mendorong bertambahnya permintaan akan lahan baik untuk pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi konversi lahan hutan sekitar 50 hektar per tahun (Nasution dan Joyowinoto, 1995). Konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun industri tidak jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur. Alih guna lahan terus terjadi, menyebabkan lahan potensial untuk pertanian menjadi berkurang. Pembangunan perlu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Penggunaan lahan potensial berubah fungsi dan guna untuk sarana pemukiman dan pembangunan industri juga meningkatkan pencemaran dari hasil produksi rumah tangga ataupun industri.
Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah luas. Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah, baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997).
Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002). Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu DAS yang berkelanjutan.
Dilema lain yang harus dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk yang menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan pertanian cukup besar. Upaya peningkatan produksi pertanian dilakukan secara intensif. Pengelolaan lahan secara monokultur dan pemberian masukan luar yang tinggi yang tidak jarang menimbulkan masalah baru dalam produksi pertanian. Pemberian masukan tinggi menyebabkan lahan menjadi tercemar, sehingga lahan memerlukan perbaikan untuk menjaga fungsi lahan sebagai media tumbuh dan sarana penyimpanan air, unsure hara dan bahan-bahan fungsional untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
B. Pemecahan Masalah Degradasi dan Alih fungsi Lahan
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat ditempuh dengan cara pengelolaan pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilamana memiliki ciri seperti :
1. Dapat meningkatkan pendapatan petani,
2. Komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar,
3. Tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan
4. Teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Rony, 2008).
Pemecahan masalah degradasi lahan dan alih fungsi lahan dapat ditempuh dengan teknologi yang telah berkembang di masyarakat. Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan yaitu :
1. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage,
2. Countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
3. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
4. Struktur atau konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, saluran, dll.
5. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan (Rony, 2008).
Dengan adanya permasalahan degaradasi lahan dan alih fungsi lahan maka dapat diupayakan proses pengembangan sistem agroforestri berbasis mayarakat dan pengembangan pembangunan berkelanjutan. Dalam penerapan agroforestri diperlukan pula upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri untuk dapat diterapkan petani di daerah tropika, termasuk di Indonesia.
C. Agroforestri Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengendali Lingkungan
Agroforestri secara harafiah dapat diartikan sebagai pertanian berbasis kehutanan. Agroforestri merupakan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Dengan adanya agroforestri diharapkan dapat menjaga fungsi hutan dalam bentuk proses pertanian selain juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemenuhan produksi pertanian di pasar.
Berbasis masyarakat dalam banyak istilah yang digunakan oleh banyak pihak
yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry. Titik berat dalam pembanguanan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep berkeadilan (Rahardjo, 2007).
A. Agroforestri
Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989, Muthoo and Chipeta (1991), agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).
Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta Nopember 1981, mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut ; Suatu metode penggunaan lahan secara oftimal, yang mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat ” (Satjapradja, 1981).
B. Degradasi dan Konservasi Lahan
Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).
Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.
Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah. Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi ΓΈ 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur.
Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.
Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di Kalimantan tengah (Dephut, 2003). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun.
A. Agroforest Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan, yaitu:
1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (resources based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based forest management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi (produksi kayu) saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif, dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap (soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan kualitas lingkungan yang lestari.
B. Arah Pengembangan Agroforestri
Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani berabab-abad lamanya, namun agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah tentang agroekosistem kompleks seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah. Akan tetapi sudah disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai macam agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang kompleks, canggih dan tepat guna untuk kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998).
Dalam pengembangan sistem agroforestri beberapa hal penting yang harus diketahui adalah kapasitas petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk meramalkan dan menjelaskan hasil suatu percobaan. Oleh karena itu untuk menciptakan sistem bertani yang berwawasan lingkungan dibutuhkan kerjasama yang erat dengan para petani. Pengetahuan indigenous merupakan pelengkap (complement) penting bagi pengetahuan lmiah formal. Seperti yang dinyatakan oleh Grandstaff and Grandstaff (1986), para petani memang tidak punya pengetahuan ilmiah untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi, akan tetapi tak seorangpun mampu lebih baik dalam memahami kondisi lokal mereka selain mereka sendiri.
Dalam pengembangan sistem agroforestri tersebut, petani tidak hanya menyumbang pengetahuan ekosistem lokal saja, tetapi pengalaman melakukan percobaan dan adaptasi teknologi dalam kondisi setempat juga sangat penting dan membantu mempercepat proses adopsi. Inovasi yang dihasilkan para petani dalam menghadapi masalah dan menyikapi peluang baru memberikan indikasi perbaikan potensial penting sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan bio-fisik yang harus mereka hadapi.
Prinsip-Prinsip Ekologi Dasar Sistem Agroforestri
Pengetahuan dan pengalaman agroekologi pertanian lokal dan pertanian berwawasan lingkungan di seluruh dunia memiliki beberapa prinsip ekologi dasar yang mengarah pada proses pengembangan agroforetsri. Perlu disadari bahwa selain prinsip-prinsip ekologi, prinsip lain yang meliputi sosio-ekonomi, dan politik juga memegang peranan yang tidak kalah penting.
Prinsip-prinsip ekologi yang mendasari pengembangan agroforestri di antaranya adalah:
1. Menciptakan kondisi tanah agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman, terutama dengan mengolah bahan organik dan memperbaiki kehidupan organisme dalam tanah.
2. Optimalisasi ketersediaan hara dan menyeimbangkan aliran hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, pemompaan hara, daur ulang dan penggunaan pupuk sebagai pelengkap.
3. Optimalisasi pemanfaatan radiasi matahari dan udara melalui pengelolaan iklim-mikro, pengawetan air dan pengendalian erosi.
4. Menekan kerugian seminimal mungkin akibat serangan hama dan penyakit dengan cara pencegahan dan pengendalian yang ramah lingkungan
5. Penerapan sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman hayati fungsional yang tinggi, dalam usaha mengeksploitasi komplementasi dan sinergi sumber daya genetik dan sumber daya lainnya.
Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan strategis. Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh berbeda dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang dan keterbatasan setempat.
Petani agroforestri senantiasa menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usaha taninya, baik yang berasal dari dalam maupun yang dari luar sistem. Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks. Hambatan dari dalam misalnya yang terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah dan ketersediaan tenaga kerja dan modal. Hambatan dari luar misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah). Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri. Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan petani.
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu :
1. Meningkatkan produktivitas sistem agroforestri,
2. Mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada
3. Penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.
Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:
1. menggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen
2. sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenagakerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem perkebunan monokultur.
Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti teknik-teknik konservasi lahan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan
Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang berkelanjutan adalah dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang produksi tanaman dalam jangka panjang, penggunaan tenaga kerja yang cukup rendah, tidak adanya kelaparan tanah, tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan air, rendahnya emisi gas rumah kaca serta terjaganya keanekaragaman hayati (Van der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah, terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.
Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro). Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktek-praktek agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.
Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri
memungkinkan menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak untuk sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing dengan sistem-sistem lainnya.
C. Pendekatan Pengembangan Agroforestri
Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga penelitian pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet, padi, dsb.
Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’, yang memprioritaskan petani (farmer first). Ada empat faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi, menolak, mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :
Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.
b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.
c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan ketersediaan kredit.
d. Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
Selain keempat factor tersebut dibutuhkan dukungan lain:
(a) Kebijakan dan iklim ekonomi yang mendukung,
(b) Dukungan infrastruktur seperti sarana transportasi, kredit dsb,
(c) Lembaga penelitian yang dapat memberikan informasi tentang berbagai bentuk agroforestri dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
(d) Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam pengelolaan agroforestri.
Pendekatan pilihan teknologi ini sebenarnya mewakili pengertian agroforestri berdasarkan interaksi komponen dan pendukungnya dalam penggunaan sumber daya alam pada tingkat petani.
D. Agroforestri sebagai Hutan Pengendali Kelestarian Lingkungan
Agroforestri dapat dilihat sebagai konsep hutan yang memberikan sumbangan fungsi hutan sebagai pengendali lingkungan. Hutan tidak sekedar sebagai sumber kayu dan hasil hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi menjadi habitat bagi fauna dan flora serta menjadi penyeimbang lingkungan.
Seperti diketahui hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Fungsi hutan yang antara lain:
Penghasil kayu bangunan (timber). Banyak macam pepohonan yang tumbuh di hutan, sehingga hutan dapat menjadi sumber penghasil kayu bangunan dengan berbagai kualitas. Namun, adanya intensitas penebangan hutan yang cukup tinggi menyebabkan masa bera menjadi lebih pendek. Akibatnya fungsi hutan sebagai penyedia kayu bangunan telah bergeser menjadi penyedia kayu bakar saja yang lebih rendah nilai ekonominya.
Sumber NTFP (Non Timber Forest Product ~ Produk hutan non-kayu). Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Hutan bukan saja menyediakan kayu bangunan, tetapi juga obat-obatan, sayuran, keperluan rumah tangga lainnya (contohnya rotan, bambu dsb). Singkatnya masa bera akan menyebabkan perubahan iklim mikro sehingga banyak spesies sensitif yang berkurang populasinya dan akhirnya punah.
Cadangan karbon (C). Hutan penting untuk meningkatkan cadangan C di alam melalui peningkatan biomasa vegetasinya. Kemampuan hutan dalam mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Keberadaan hutan selain dapat menyeimbangkan keberadaan CO2 di udara, hutan dapat berfungsi sebangai penyeimbang suhu bumi dan mempengaruhi kestabilan iklim pada suatu daerah tersebut.
Habitat bagi fauna. Hutan merupakan habitat penting bagi beberapa fauna dan flora. Konversi hutan menjadi lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) berkurang.
Filter. Kondisi tanah hutan umumnya remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar.
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat, sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, peran hutan sebagai penyeimbang alam, peran hutan kepada masyarakat masih dirasa kurang. Penggunaan jasa lingkungan hutan berupa kayu-kayuan, serta hasil bumi yang dihasilkan dari vegetasi hutan masih dirasakan terbatas. Hal ini di sebabkan karena kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari pada kuantitas serta kualitas hutan itu sendiri.
Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Hal ini membawa berbagai konsekuensi terhadap berbagai aspekbiofisik, sosial dan ekonomi.
Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiridari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi.
Agroforestri memainkan peran yang penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya khas. Agroforest menciptakan kembali asitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro dan dalamnya sejumlah tanaman hutan alami mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora akan semakin besar bila dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber bibit.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami, 2002)
Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi atau lingkungan. Agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri memiliki:
1. Multi-jenis. artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian Trudy O’Connors (sumber CRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi. Pengendali hama (burung pemakan serangga), Pengendali gulma: burung pemakan biji rumput-rumputan, walaupun jenis burung pemakan biji ini dapat menjadi hama di sawah.
2. Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan penyakit
3. Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak keseimbangan ekologinya.
4. Penggunaan bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat ‘relung’ (niches) yang beragam tergantung pada kesuburan tanah,kemiringan lereng, kerentanan terhadap erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga
E. Agroforestri sebagai Model Pertanian Berkelanjutan
Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang bebrbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat misal untuk bahan pangan, kayu bakar dan aneka buah-buahan. Bahkan agroforestri mampu menyumbang 50-80% pemasukan pertanian di pedesaan melalui produksi langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan pemasarana hasil
Dilain pihak produksi agroforestri selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Agroforestri pada umumnya masih dianggap sebagai kebun dapur yang tidak lebih dar sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya. Oleh sebab itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
Keunikan konsep pertanian komersial agoforestri adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Dengan demikian akan menimbulkan beberapa akibat yang menarik bagi petani yang mengusahakannya. Aneka hasil kebun hutan sebagai tabungan (bank) karena pendapatan dari agroforestri dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks, damar, kopi, kayu manis, kayu bakar dan sebagainya.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang dialami bebrapa spesies seperti kayu damar dan kayu karet ketika kayu dar hasil hutan alami menjadi langka. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder agroforestri menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi petani (kebun dapur) seperti bahan pangan pelengkap misalnya sayuran, buah, rempah dan tanaman obat.
Pemberdayaan pertanian berkelanjutan dapat melibatkan sector perternakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroforestri. Ternak memanfaatkan tanaman untuk pakannya sebagai contoh adalah program Direktorat Pengemangan Peternakan (2003) yaitu pemeliharaan sapi potong di bawah kebun kelapa sawit. Peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri saat ini terkendala sehubungan dengan terbatasnya ketersediaan bibit ternak, pakan, lahan tempat usaha, modal dan daya saing. Perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk kawasan pengembangan ternak ruminansia karena potensial sebagai sumber bahan pakan ternak, tersedianya lahan usaha, infrastruktur, pasar dan modal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan perah, kambing/domba dapat dipelihara di bawah pohon kelapa sawit atau dengan jalan dikandangkan (sistem cut-and-curry). Manfaat lain adalah ternak dapat dijadikan sumber tabungan selain adatananya tanaman produktif yang telah di budidayakan. Kotoran ternak yang dihasilkan juga dapat dikelola dengan baik. Sehingga menghasilkan bahan tambahan berupa bahan organik pupuk kandang untuk budidaya tanaman.
Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993), sapi dan kerbau menghasilkan sejumlah besar kotoran per ekor per tahun. Kotoran tersebut mempunyai nilai ekonomis. Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan dijual sebagai pupuk kandang. Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk di tanah dan menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya. Nilai ekonomisnya, adalah bahwa petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi biaya untuk pupuk. Keuntungan lain dengan pemanfaatan ternak ruminansia, bahwa tidak perlu mencari lahan khusus untuk pemeliharaan sapi/ kerbau. Dibandingkan ternak nonruminansia, dalam hal mana cukup dapat diperlihara dengan sistem backyard farming
F. Bentuk-Bentuk Agroforestri
Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain. Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah:
1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim.
2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan cahaya, penyerapan air dan unsur hara.
3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman.
4. Perbedaan perkembangan tanah. Perubahan tanah berbeda berdasarkan sistem tipe agroforestri: (a) sistem rotasi, (b) kepadatan spasial dari sistem campuran, dan (c) spasial terbuka dari sistem campuran dan sistem zone spasial.
5. Banyak macam keluaran (output) (Cooper, 1996)
Berdasarkan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sistem agroforestri, maka model-model sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula. Sampai dengan saat ini, ada beberapa kelompok model agroforestri di antaranya adalah model-model yang menekankan:
1. Radiasi. Model tentang distribusi dan penangkapan cahaya serta naungan.
2. Pertumbuhan. Model yang menghubungkan faktor ketersediaan air (hujan) dengan pertumbuhan tanaman.
3. Tanah. Model simulasi proses yang terjadi dalam tanah, misalnya aliran air, erosi, siklus unsur hara (khususnya nitrogen) dan siklus bahan organik.
4. Ekonomi. Model dari nilai ekonomi sistem agroforestri, umumnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat.
5. Penggabungan. Model yang menggabungkan biofisik dan aspek ekonomi dari sistem agroforestri (Cooper, 1996)
Beberapa model Agroforestri yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. Agrisilvopastur “, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Sylvopastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak.
3. Agrosylvo-pastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
4. “Multipurpose forest “, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak
Teknologi Agroforestry dikawasan hutan di Jawa dilaksanakan dengan menggunakan bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan terakhir Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial. Tumpangsari berarti menduduki lahan hutan atau ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman pertanian , yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari dalam hal penerapan teknolologi pertanian yang digunakan, mencakup penggunaan teknologi sebagai berikut :
1. Penggunaan bibit unggul tanaman pertanian.
2. Perbaikanpengolahan dan konservasi tanah.
3. Penggunaan pupuk
4. Pemilihan waktu yang tepat untuk penanaman dan pemberian pupuk, sehubungan dengan waktunya turun hujan.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri mampu memberikan dan mempertahankan fungsi hutan dan agroforestri mampu dikembangkan dalam masyarakat pertanian sekaligus sebagai praktek pertanian secara berkelanjutan
A. Rekomendasi Pengelolaan Sistem Agroforestri
Pengelolaan sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon, tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat mengalami kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang terjadi dalam interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pengukuran dan pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu dalam
menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat ke dalam
tingkat ilmiah.
Penyediaan bibit yang berkualitas tinggi
Usaha agroforestri tidak jarang mengalami kegagalan, karena pertumbuhan pohon yang tidak baik sebagai akibat rendahnya mutu bibit yang dipilih.
Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam penyediaan bibit, maka masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemilihan bibit.
Pemilihan lokasi yang cocok (Tree-site-matching) dan pemasaran
Pemilihan lokasi yang tepat bagi jenis komoditi tertentu merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri. Penelitian tentang pola sebaran pepohonan pada skala bentang lahan merupakan informasi yang sangat berharga bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha agroforestrinya. Di samping itu, informasi pasar untuk produk pohon (kayu bangunan, buah-buahan dan rempah) akan banyak membantu petani dalam mengatur strategi pengelolaan lahannya.
Pengukuran tingkat pelayanan lingkungan agroforestri
Agroforestri memberikan pelayanan lingkungan antara lain mempertahankan fungsi daerah aliran sungai (DAS), penyerapan CO2 di atmosfer dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Masalah merosotnya kualitas lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan internasional, namun ketersediaan data kuantitatif masih belum banyak tersedia. Sebagai contoh, masalah kebakaran hutan yang melanda daerah luas dan terjadi pada waktu yang bersamaan pada tahun 1997, , CH4dan N2O) yang telah melebihi menyebabkan emisi gas rumah kaca (CO2) batas ambang yang diperbolehkan dari segi kesehatan.
Kebijakan Pemerintah
Penelitian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan agroforestri antara lain yang berhubungan dengan:
1. Jaminan penguasaan lahan (land tenure).
2. Pengadaan “pasar hijau” bagi produk yang ramah lingkungan dan pemberian ‘insentif’ bagi petani yang melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.
Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.
Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008
Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from Central Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolik Soils anTheir Potential for Agriculture in Indonesia. Bulletin 3. Soil Researc Institute. pP:95-114.
Hairiah K, Widianto, SR Utami dan B Lusiana (editor). 2002. WaNuLCAS: model simulasi untuk sistem agroforestri. International Centre for Research in Agroforestry southeast Asian Regional Research Programme (ICRAF-SEA), Bogor.
Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandung 2 – 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294.
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Timur. Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems. Mulawarman University. 163-178p.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5. Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.
Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J. Tanah Trop. 4:95-98.
McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998. Forest clearence: impact of landuse change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil. Land Degradation & Development. 9:425-440.
Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation. Greenland,D.J. and I. Szabolcs (editor). Soil resilience and sustainable land use. CAB International. p:99-118.
Narain, P. dan S.S. Grewal, 1994. Agroforestry for Soil and Water Conservation India Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Maitute, Dehra Dun 48 195 , India 8th International Soil and Water Conservation.Challenges and Opportunities. Vol. 2.
Rony, 2008. Pertanian Berkelanjutan. http://m4h4rony.wordpress.com/2008/02/09/pertanian-berkelanjutan/ diakses tanggal 25 Februari 2008.
Satjapradja, D., 1981. Agroforestri di Indonesia, Pengertian dan Implementasinya. Makalah. Seminar Agroforestri dan Perladangan, Jakarta.
Young A. 1997. Agroforestry for soil management Wallingford, UK.Chichakly K, J Gass, M Newcomb, J Pease and K Richmond. 1996. STELLA. High performance ystems, Inc. 45 Lyme Road, Hannover, NH 03755, USA
Raintree JB. 1983. Theory and practice of Agroforestry Diagnosis and Design. In: MacDicken KG and NT Vergara (eds). 1990. Agroforestry: Classification and FManagement. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Tomich TP, M van Noordwijk, S Budidarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso, F Stole and AM Fagi. 1998. Alternatives to slash-and-burn in Indonesia. Summary report and synthesis phase II. ICRAF, Nairobi, Kenya.
Van der Heide J, S Setijono, Syekhfani MS, EN Flach, K Hairiah, S Ismunandar, SM Sitompul and M van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping systems on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Background of the Unibraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kota Bumi, Lampung Utara, Indonesia). Agrivita 15: 1-10.
Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.
A. Pertumbuhan Penduduk dan Permasalahan Fungsi Lahan
Laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi mendorong bertambahnya permintaan akan lahan baik untuk pemukiman ataupun untuk usaha, akibatnya terjadi konversi lahan hutan sekitar 50 hektar per tahun (Nasution dan Joyowinoto, 1995). Konversi lahan untuk pemenuhan kebutuhan pemukiman ataupun industri tidak jarang dilakukan pada lahan pertanian yang subur. Alih guna lahan terus terjadi, menyebabkan lahan potensial untuk pertanian menjadi berkurang. Pembangunan perlu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Penggunaan lahan potensial berubah fungsi dan guna untuk sarana pemukiman dan pembangunan industri juga meningkatkan pencemaran dari hasil produksi rumah tangga ataupun industri.
Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah luas. Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah, baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997).
Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Sejak diberlakukannya ijin pengelolaan hutan, kondisi hutan di Indonesia semakin menurun. Berdasarkan hasil citra landsat tahun 1999-2000 yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, kondisi penutupan vegetasi pada kawasan hutan seluas 93,5 juta ha di Indonesia selain Papua adalah: Hutan primer 20,4 juta ha (21,8%), hutan tanaman 2,4 juta ha (2,6%), hutan sekunder 29,7 juta ha (31,8%), non- hutan (semak-belukar, padang alang-alang, lahan kosong) 27,6 juta ha (29,5%), tidak dapat diidentifikasi (tertutup awan, dsb) 13,4 juta ha (14,3%) (Dephut, 2002). Kondisi hutan terus mengalami kerusakan dengan laju degradasi sekarang mencapai 2 juta/tahun meningkat dari hanya 0,9 ha/tahun pada 1980-1990. Lahan yang mengalami kerusakan mencapai 56,9 juta ha, yang terdiri dari: lahan kritis di luar kawasan hutan 15,1 juta ha, lahan kritis di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi 8,1 juta ha, hutan rusak di dalam kawasan hutan produksi 27,8 juta ha, hutan mangrove di dalam dan luar kawasan hutan 5,9 juta ha (Dephut, 2000).
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi lahan yang berlebihan, perluasan tanaman, penggundulan hutan, telah berdampak pada keberlangsungan hidup biota yang berada di bumi ini. Bila kondisi tersebut diatas terus berlangsung dengan cara tidak terkendali, maka dikhawatirkan akan bertambahnya jumlah lahan kritis dan kerusakan dalam suatu wilayah daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan ini dapat berupa degradasi lapisan tanah (erosi), kesuburan tanah, longsor dan sedimentasi yang tinggi dalam sungai, bencana banjir, disribusi dan jumlah atau kualitas aliran air sungai akan menurun.
Untuk menggunakan lahan pada daerah hulu secara rasional maka diperlukan sistem penggunaan lahan yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi, produktif dan pemanfatan teknologi yang ramah lingkungan. Dengan demikian akan mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan secara menyeluruh menciptakan pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu DAS yang berkelanjutan.
Dilema lain yang harus dihadapi adalah bertambahnya jumlah penduduk yang menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan pertanian cukup besar. Upaya peningkatan produksi pertanian dilakukan secara intensif. Pengelolaan lahan secara monokultur dan pemberian masukan luar yang tinggi yang tidak jarang menimbulkan masalah baru dalam produksi pertanian. Pemberian masukan tinggi menyebabkan lahan menjadi tercemar, sehingga lahan memerlukan perbaikan untuk menjaga fungsi lahan sebagai media tumbuh dan sarana penyimpanan air, unsure hara dan bahan-bahan fungsional untuk mendukung pertumbuhan tanaman.
B. Pemecahan Masalah Degradasi dan Alih fungsi Lahan
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat ditempuh dengan cara pengelolaan pembangunan pertanian berkelanjutan, maka pengelolaan lahan harus menerapkan suatu teknologi yang berwawasan konservasi. Suatu teknologi pengelolaan lahan yang dapat mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan bilamana memiliki ciri seperti :
1. Dapat meningkatkan pendapatan petani,
2. Komoditi yang diusahakan sesuai dengan kondisi bio fisik lahan dan dapat diterima oleh pasar,
3. Tidak mengakibatkan degradasi lahan karena laju erosi kecil, dan
4. Teknologi tersebut dapat diterapkan oleh masyarakat (Rony, 2008).
Pemecahan masalah degradasi lahan dan alih fungsi lahan dapat ditempuh dengan teknologi yang telah berkembang di masyarakat. Ada beberapa teknologi untuk merehabilitasi lahan dalam kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan yaitu :
1. Agronomi yang meliputi teknis agronomis seperti TOT, minimum tillage,
2. Countur farming, mulsa, pergiliran tanaman (crop rotation), pengelolaan residu tanaman, dll.
3. Vegetatif berupa agroforestry, alley cropping, penanaman rumput.
4. Struktur atau konstruksi yaitu bangunan konservasi seperti teras, tanggul, cek dam, saluran, dll.
5. Manajemen berupa perubahan penggunaan lahan (Rony, 2008).
Dengan adanya permasalahan degaradasi lahan dan alih fungsi lahan maka dapat diupayakan proses pengembangan sistem agroforestri berbasis mayarakat dan pengembangan pembangunan berkelanjutan. Dalam penerapan agroforestri diperlukan pula upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri untuk dapat diterapkan petani di daerah tropika, termasuk di Indonesia.
C. Agroforestri Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Berkelanjutan dan Pengendali Lingkungan
Agroforestri secara harafiah dapat diartikan sebagai pertanian berbasis kehutanan. Agroforestri merupakan perpaduan antara pertanian dan proses pengembangan lingkungan atau kondisi hutan. Dengan adanya agroforestri diharapkan dapat menjaga fungsi hutan dalam bentuk proses pertanian selain juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemenuhan produksi pertanian di pasar.
Berbasis masyarakat dalam banyak istilah yang digunakan oleh banyak pihak
yang selama ini mendorong akses masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya
hutan, yaitu community forestry , social forestry, farm atau atau agro forestry. Titik berat dalam pembanguanan pertanian secara berkelanjutan adalah masyarakat secara mandiri dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang terus menerus dan memiliki konsep berkeadilan (Rahardjo, 2007).
A. Agroforestri
Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989, Muthoo and Chipeta (1991), agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).
Suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanamaan (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yanag sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat Dalam suatu seminar mengenai Agroforestry dan pengendalian perladangan berpindah-pindah, di Jakarta Nopember 1981, mendefinisikan Agroforestry sebagai berikut ; Suatu metode penggunaan lahan secara oftimal, yang mengkombinasikan sitem-sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang (suatu kombinasi kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan suatu cara berdasarkan azas kelestarian, secara bersamaan atau berurutan, dalam kawasan hutan atau diluarnya, dengan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat ” (Satjapradja, 1981).
B. Degradasi dan Konservasi Lahan
Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).
Faktor degradasi tanah umumnya terbagi 2 jenis yaitu akibat faktor alami dan akibat faktor campur tangan manusia. Menurut Barrow (1991) faktor alami penyebab degradasi tanah antara lain: areal berlereng curam, tanah mudah rusak, curah hujan intensif, dan lain-lain. Faktor degradasi tanah akibat campur tangan manusia baik langsung maupun tidak langsung lebih mendominasi dibandingkan faktor alami, antara lain: perubahan populasi, marjinalisasi penduduk, kemiskinan penduduk, masalah kepemilikan lahan, ketidakstabilan politik dan kesalahan pengelolaan, kondisi sosial dan ekonomi, masalah kesehatan, dan pengembangan pertanian yang tidak tepat. Oldeman (1994) menyatakan lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu: deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, eksploitasi berlebihan, dan aktivitas industri dan bioindustri. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Lal (1986) mengemukakan bahwa faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain: deforestasi, mekanisasi dalam usahatani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur. Faktor-faktor tersebut di Indonesia umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah diotelantarkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.
Umumnya telah sepakat bahwa faktor-faktor penyebab degradasi baik secara alami maupun campur tangan manusia menimbulkan kerusakan dan menurunnya produktivitas tanah. Lahjie (1989) menyatakan kondisi tanah menentukan lamanya masa bera, pada tanah subur di Datah Bilang Kabupaten Kutai maka jekau betiq muda (vegetasi ΓΈ 10 cm) dicapai pada umur 4 tahun, sedangkan pada tanah kurang subur seperti di Long Urug Kabupaten Bulungan dicapai pada umur 8 tahun. Ahn (1993) menyatakan masa bera telah memendek dari masa bera umumnya yaitu lebih dari 10 – 20 tahun. Von Vexkul (1996) menyatakan bahwa lama masa bera yang berkelanjutan dalam banyak kasus telah menurun kurang dari 5 tahun. Berdasarkan hasil kajian diatas patokan masa bera yang berkelanjutan tergantung juga kepada kondisi kesuburan tanah, pada tanah ladang yang subur maka masa bera lebih pendek dibandingkan tanah ladang tidak subur.
Driessen et al., (1976) menyatakan bahwa pada tanah ladang Podzolik di Tamiyang Layang Kalimantan Tengah mengalami penurunan produktivitas mula-mula disebabkan memburuknya morfologi, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Namun setelah 5 tahun penggunaan tanah penurunan produktivitas disebabkan karena slaking sehingga terjadi erosi , menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas yang umumnya mengandung lebih dari 80% unsur hara di dalam profil tanah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian McAlister et al., (1998) bahwa setelah 5 tahun sejak pembakaran maka konsentrasi unsur hara menurun, persentase Al tinggi dan persentase kejenuhan basa rendah di subsoil setelah 2 – 5 tahun pembakaran. Tanah menjadi subyek erosi, subsoil menjadi media tumbuh tanaman, dan tingginya tingginya konsentrasi Al pada tingkat meracun serta rendahnya kejenuhan basa mendorong penurunan produksi tanaman.
Pengaruh antropogenik terhadap degradasi tanah akan sangat tinggi apabila tanah diusahakan bukan untuk non pertanian. Perhitungan kehilangan tanah yang ditambang untuk pembuatan bata merah sangat besar. Manik dkk (1997) menghitung kehilangan tanah akibat pembuatan bata merah di Bandar Lampung sekitar 4.510,4 Mg ha-1 yang merupakan 201,4 kali lebih besar dari erosi rata-rata. Hidayati (2000) menyatakan akibat penimbunan permukaan tanah dengan tanah galian sumur tambang emas di Sukabumi mengakibatkan penurunan status hara, menurunkan populasi mikroba dan artropoda tanah, dan merubah iklim mikro.
Laju deforestrasi di Indonesia sebesar 1,6 juta ha per tahun; sedangkan luas lahan kritis hingga awal tahun 1999/2000 keseluruhan seluas 23,2 juta ha, dan 1,8 juta ha di Kalimantan tengah (Dephut, 2003). Deforestasi mengakibatkan penurunan sifat tanah. Handayani (1999) menyatakan bahwa deforestrasi menyebabkan kemampuan tanah melepas N tersedia (amonium dan nitrat) menurun.
A. Agroforest Sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Sebenarnya pengelolaan hutan di Indonesia mempunyai dasar yang cukup kuat yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan, yaitu:
1. Pengelolaan hutan diubah dari sistem hutan berbasis produksi kayu (timber management) menjadi berbasis sumber daya hutan yang berkelanjutan (resources based management)
2. Pemberian hak penguasaan hutan yang awalnya lebih ditujukan kepada usaha skala besar, beralih pada usaha berbasis masyarakat (community based forest management)
3. Orientasi kelestarian hutan yang ditekankan pada aspek ekonomi (produksi kayu) saja, diubah pada upaya mengakomodir kelestarian fungsi sosial, ekonomi, dan lingkungan
4. Pengelolaan hutan yang semula sentralistis menuju desentralistis, memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengelola hutan secara demokratis, partisipatif, dan terbuka
5. Era produksi, yang mengutamakan hasil kayu akan dikurangi secara bertahap (soft landing process), menuju era rehabilitasi dan konservasi untuk pemulihan kualitas lingkungan yang lestari.
B. Arah Pengembangan Agroforestri
Praktek agroforestri sudah dilaksanakan petani berabab-abad lamanya, namun agroforestri sebagai ilmu pengetahuan masih relatif baru. Karenanya pemahaman ilmiah tentang agroekosistem kompleks seperti praktek agroforestri tradisional ini masih lemah. Akan tetapi sudah disadari bahwa petani dan masyarakat lokal yang mengelola berbagai macam agroekosistem telah banyak belajar dan menghasilkan pengetahuan yang kompleks, canggih dan tepat guna untuk kondisi pertanian setempat (Sinclair dan Walker, 1998).
Dalam pengembangan sistem agroforestri beberapa hal penting yang harus diketahui adalah kapasitas petani dalam memahami lingkungan biofisik dan budaya setempat untuk meramalkan dan menjelaskan hasil suatu percobaan. Oleh karena itu untuk menciptakan sistem bertani yang berwawasan lingkungan dibutuhkan kerjasama yang erat dengan para petani. Pengetahuan indigenous merupakan pelengkap (complement) penting bagi pengetahuan lmiah formal. Seperti yang dinyatakan oleh Grandstaff and Grandstaff (1986), para petani memang tidak punya pengetahuan ilmiah untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi, akan tetapi tak seorangpun mampu lebih baik dalam memahami kondisi lokal mereka selain mereka sendiri.
Dalam pengembangan sistem agroforestri tersebut, petani tidak hanya menyumbang pengetahuan ekosistem lokal saja, tetapi pengalaman melakukan percobaan dan adaptasi teknologi dalam kondisi setempat juga sangat penting dan membantu mempercepat proses adopsi. Inovasi yang dihasilkan para petani dalam menghadapi masalah dan menyikapi peluang baru memberikan indikasi perbaikan potensial penting sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan bio-fisik yang harus mereka hadapi.
Prinsip-Prinsip Ekologi Dasar Sistem Agroforestri
Pengetahuan dan pengalaman agroekologi pertanian lokal dan pertanian berwawasan lingkungan di seluruh dunia memiliki beberapa prinsip ekologi dasar yang mengarah pada proses pengembangan agroforetsri. Perlu disadari bahwa selain prinsip-prinsip ekologi, prinsip lain yang meliputi sosio-ekonomi, dan politik juga memegang peranan yang tidak kalah penting.
Prinsip-prinsip ekologi yang mendasari pengembangan agroforestri di antaranya adalah:
1. Menciptakan kondisi tanah agar sesuai untuk pertumbuhan tanaman, terutama dengan mengolah bahan organik dan memperbaiki kehidupan organisme dalam tanah.
2. Optimalisasi ketersediaan hara dan menyeimbangkan aliran hara, terutama melalui fiksasi nitrogen, pemompaan hara, daur ulang dan penggunaan pupuk sebagai pelengkap.
3. Optimalisasi pemanfaatan radiasi matahari dan udara melalui pengelolaan iklim-mikro, pengawetan air dan pengendalian erosi.
4. Menekan kerugian seminimal mungkin akibat serangan hama dan penyakit dengan cara pencegahan dan pengendalian yang ramah lingkungan
5. Penerapan sistem pertanian terpadu dengan tingkat keragaman hayati fungsional yang tinggi, dalam usaha mengeksploitasi komplementasi dan sinergi sumber daya genetik dan sumber daya lainnya.
Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan berbagai bentuk teknis dan strategis. Setiap strategi dan teknik dalam sistem bertani akan memiliki pengaruh berbeda dalam produktivitas, keamanan, keberlanjutan, tergantung pada peluang dan keterbatasan setempat.
Petani agroforestri senantiasa menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam menjalankan sistem usaha taninya, baik yang berasal dari dalam maupun yang dari luar sistem. Kegagalan penyebarluasan praktek agroforestri di kalangan petani seringkali disebabkan oleh kesalahan strategi, bukan karena keunggulan komparatif sistem itu sendiri. Oleh sebab itu alasan bahwa petani sangat konservatif dan ketidak-berhasilan penyuluh sebenarnya kurang tepat. Sebuah pendekatan yang lebih konstruktif yang bisa dilakukan adalah dengan memikirkan permasalahan dalam penyusunan rancangan dan memasukkan pertimbangan kemudahan untuk diadopsi sedini mungkin (sejak tahap rancangan). Hal ini tidak berarti bahwa kedua alasan di atas tidak benar, melainkan lebih ditekankan kepada proses penyuluhan dan adopsinya yang sangat kompleks. Hambatan dari dalam misalnya yang terkait dengan sistem produksi seperti kesuburan tanah dan ketersediaan tenaga kerja dan modal. Hambatan dari luar misalnya fluktuasi harga produk (harga yang rendah). Tantangan dan hambatan tersebut mengancam keberlanjutan sistem agroforestri. Oleh karena itu perlu ada inovasi teknologi yang bisa mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi oleh petani agroforestri, supaya agroforestri bisa menjadi salah satu prioritas pilihan petani.
Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu :
1. Meningkatkan produktivitas sistem agroforestri,
2. Mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada
3. Penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).
Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa. Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Namun demikian, keuntungan (ekonomi) yang diperoleh dari peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan yang baru.
Perbaikan (peningkatan) produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri:
1. menggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat nitrogen
2. sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah tenagakerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk dibandingkan sistem perkebunan monokultur.
Sasaran keberlanjutan sistem agroforestri tidak bisa terlepas dari pertimbangan produktivitas maupun kemudahan untuk diadopsi dan diterapkan. Sistem agroforestri yang berorientasi pada konservasi sumber daya alam dan produktivitas jangka panjang ternyata juga merupakan salah satu daya tarik bagi petani. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan petani pada saat mereka merencanakan untuk menerapkan upaya konservasi, misalnya kepastian status lahan, pendapatan dalam jangka pendek, dan sebagainya. Ada pendapat yang menyarankan agar petani diberi insentif untuk mendorong supaya mereka mau menerapkannya. Seringkali insentif ini diwujudkan dalam bentuk subsidi bagi petani (khususnya di negara maju). Di negara berkembang, insentif tersebut diberikan dalam bentuk bantuan teknologi seperti teknik-teknik konservasi lahan. Dalam sistem agroforestri terdapat peluang yang cukup besar dan sangat terbuka untuk melakukan pendekatan yang memadukan sasaran keberlanjutan untuk jangka panjang dengan keuntungan produktivitas dalam jangka pendek dan menengah.
Peluang untuk berhasil akan lebih besar apabila proses itu dimulai dengan dasar teknologi yang dapat diadopsi. Salah satu cara terbaik adalah dengan melibatkan secara aktif pemakai (user) teknologi tersebut (petani agroforestri) dalam proses pengembangan teknologi sejak dari tahap penyusunan rancangan, percobaan, evaluasi dan perbaikan rancangan inovasi teknologi. Perlu dipahami bahwa agroforestri bukanlah jawaban dari setiap permasalahan penggunaan lahan, tetapi keberagaman sistem agroforestri merupakan koleksi opsi pemecahan masalah yang dapat dipilih oleh petani sesuai dengan
Salah satu sasaran utama dari setiap usaha pertanian termasuk agroforestri adalah produksi yang berkelanjutan (sustainable) yang dicirikan oleh stabilitas produksi dalam jangka panjang. Beberapa indikator terselenggaranya sistem pertanian yang berkelanjutan adalah dapat dipertahankannya sumber daya alam sebagai penunjang produksi tanaman dalam jangka panjang, penggunaan tenaga kerja yang cukup rendah, tidak adanya kelaparan tanah, tetap terjaganya kondisi lingkungan tanah dan air, rendahnya emisi gas rumah kaca serta terjaganya keanekaragaman hayati (Van der Heide et al., 1992; Tomich et al., 1998). Tidak adanya kelaparan tanah pada sistem tersebut, dapat diartikan sebagai cukupnya kandungan bahan organik tanah, terpeliharanya kesetimbangan unsur hara, terpeliharanya struktur dan kondisi biologi tanah serta adanya perlindungan tanaman terhadap gulma, hama dan penyakit.
Pengembangan agroforestri meliputi berbagai tingkatan: mikro, meso dan makro. Keberlanjutan sistem produksi usaha tani agroforestri pada tingkatan mikro merupakan titik berat bahan kuliah ini. Namun demikian, upaya ini tidak bisa terlepas dari tingkatan yang lebih tinggi (meso dan makro). Kebijakan nasional, regional dan internasional melalui pemberlakuan berbagai peraturan dan undang-undang (hukum) dapat mendorong pengembangan atau justru menghancurkan praktek-praktek agroforestri. Produk pertanian atau agroforestri yang dipasarkan di tingkat lokal sampai regional seringkali tidak dapat terlepas dari pengaruh sistem yang lebih tinggi seperti perdagangan internasional, aliran penanaman modal (investasi) dan kebijakan fiskal melalui pajak. Pengembangan agroforestri di tingkat petani (mikro) memerlukan dukungan kebijakan nasional maupun regional yang tepat secara terus-menerus bagi kelembagaan keuangan, teknis, penelitian, dan pemasaran.
Sistem agroforestri memiliki keluwesan dalam merespons berbagai gejolak atau perubahan mendadak, baik fisik (iklim, hama), maupun perubahan ekonomi dan moneter (pasar, harga). Keluwesan berbagai praktek agroforestri
memungkinkan menjadi penyangga (buffer) terhadap berbagai gejolak, paling tidak untuk sementara waktu atau jangka pendek. Oleh karena itu sistem agroforestri merupakan salah satu alternatif penggunaan lahan yang diharapkan mampu bersaing dengan sistem-sistem lainnya.
C. Pendekatan Pengembangan Agroforestri
Pendekatan komiditi adalah pendekatan yang umum dipakai di berbagai lembaga penelitian pertanian nasional ataupun internasional. Pendekatan ini dengan sendirinya hanya memusatkan perhatian pada satu jenis tanaman saja, misalnya kopi, teh, karet, padi, dsb.
Pendekatan lainnya adalah berpusat pada ‘pilihan teknologi’ atau ‘sistem pertanian’, yang memprioritaskan petani (farmer first). Ada empat faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan untuk mengadopsi, menolak, mengadaptasi atau mengembangkan sistem agroforestri, yaitu :
Faktor pengetahuan lokal petani yang mencakup pengetahuan formal maupun informal, kapasitas petani dalam mengadopsi teknologi, ketrampilan yang dimiliki, dan nilai/manfaat dari agroforestri yang ditawarkan.
b. Faktor sosial, meliputi jaminan penguasaan lahan, insentif atas fungsi pelayanan lingkungan, dan dukungan kelembagaan lokal.
c. Faktor pasar terutama berhubungan dengan input, produk, tenaga kerja dan ketersediaan kredit.
d. Pengembangan dan penyuluhan (extension services) yang dapat membantu petani dalam memahami, menguji, dan menerapkan sistem agroforestri.
Selain keempat factor tersebut dibutuhkan dukungan lain:
(a) Kebijakan dan iklim ekonomi yang mendukung,
(b) Dukungan infrastruktur seperti sarana transportasi, kredit dsb,
(c) Lembaga penelitian yang dapat memberikan informasi tentang berbagai bentuk agroforestri dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
(d) Pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam pengelolaan agroforestri.
Pendekatan pilihan teknologi ini sebenarnya mewakili pengertian agroforestri berdasarkan interaksi komponen dan pendukungnya dalam penggunaan sumber daya alam pada tingkat petani.
D. Agroforestri sebagai Hutan Pengendali Kelestarian Lingkungan
Agroforestri dapat dilihat sebagai konsep hutan yang memberikan sumbangan fungsi hutan sebagai pengendali lingkungan. Hutan tidak sekedar sebagai sumber kayu dan hasil hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi menjadi habitat bagi fauna dan flora serta menjadi penyeimbang lingkungan.
Seperti diketahui hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Fungsi hutan yang antara lain:
Penghasil kayu bangunan (timber). Banyak macam pepohonan yang tumbuh di hutan, sehingga hutan dapat menjadi sumber penghasil kayu bangunan dengan berbagai kualitas. Namun, adanya intensitas penebangan hutan yang cukup tinggi menyebabkan masa bera menjadi lebih pendek. Akibatnya fungsi hutan sebagai penyedia kayu bangunan telah bergeser menjadi penyedia kayu bakar saja yang lebih rendah nilai ekonominya.
Sumber NTFP (Non Timber Forest Product ~ Produk hutan non-kayu). Tingkat biodiversitas hutan alami sangat tinggi dan memberikan banyak manfaat bagi manusia yang tinggal di sekeliling hutan. Hutan bukan saja menyediakan kayu bangunan, tetapi juga obat-obatan, sayuran, keperluan rumah tangga lainnya (contohnya rotan, bambu dsb). Singkatnya masa bera akan menyebabkan perubahan iklim mikro sehingga banyak spesies sensitif yang berkurang populasinya dan akhirnya punah.
Cadangan karbon (C). Hutan penting untuk meningkatkan cadangan C di alam melalui peningkatan biomasa vegetasinya. Kemampuan hutan dalam mengabsorpsi CO2 selama proses fotosintesis dan menyimpannya sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO2 di atmosfir melalui aktivitas physiologinya. Keberadaan hutan selain dapat menyeimbangkan keberadaan CO2 di udara, hutan dapat berfungsi sebangai penyeimbang suhu bumi dan mempengaruhi kestabilan iklim pada suatu daerah tersebut.
Habitat bagi fauna. Hutan merupakan habitat penting bagi beberapa fauna dan flora. Konversi hutan menjadi lahan lainnya akan menurunkan populasi fauna dan flora yang sensitif sehingga tingkat keanekaragaman hayati (biodiversitas) berkurang.
Filter. Kondisi tanah hutan umumnya remah dengan kapasitas infiltrasi air yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya masukan bahan organik ke dalam tanah yang terus menerus dari daun-daun, cabang dan ranting yang berguguran sebagai seresah, dan dari akar tanaman serta hewan tanah yang telah mati. Dengan meningkatnya infiltrasi air tanah, dan adanya penyerapan air dan hara oleh tumbuhan hutan, maka adanya limpasan permukaan, bahaya banjir, dan pencemaran air tanah dapat dikurangi. Jadi hutan berperan sebagai filter, dan fungsi daerah aliran sungai (DAS) sangat ditentukan oleh adanya filter tersebut. Hutan dapat menjadi tempat penyimpan air sehingga dapat memperkecil erosi yang terjadi. Dengan adanya hutan di suatu wilayah maka pada wilayah tersebut memiliki tutupan lahan yang dapat menahan tanah tetap pada tempatnya dengan adanya ikatan antara misel tanah dengan akar.
Peran hutan yang sangat penting bagi alam, dapat sebagai faktor pembatas keseimbangan keadaan alam yang ada di daerah tersebut. Peran hutan tersebut juga merupakan salah satu penyeimbang kelangsungan hidup biota dalam hutan dan menjaga diversitas tanaman. Hutan juga memiliki peran tersendiri bagi masyarakat, sebagai tempat ekosistem hasil sumber daya yang dapat terbaharukan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Di sisi lain, peran hutan sebagai penyeimbang alam, peran hutan kepada masyarakat masih dirasa kurang. Penggunaan jasa lingkungan hutan berupa kayu-kayuan, serta hasil bumi yang dihasilkan dari vegetasi hutan masih dirasakan terbatas. Hal ini di sebabkan karena kebutuhan masyarakat lebih tinggi dari pada kuantitas serta kualitas hutan itu sendiri.
Beralihnya sistem penggunaan lahan dari hutan alam menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan produksi atau hutan tanaman industri mengakibatkan terjadinya perubahan jenis dan komposisi spesies di lahan bersangkutan. Hal ini membawa berbagai konsekuensi terhadap berbagai aspekbiofisik, sosial dan ekonomi.
Agroforestri merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiridari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka agroforestri memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestri memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi.
Agroforestri memainkan peran yang penting dalam pelestarian sumberdaya hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya khas. Agroforest menciptakan kembali asitektur khas hutan yang mengandung habitat mikro dan dalamnya sejumlah tanaman hutan alami mampu bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora akan semakin besar bila dekat kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber bibit.
Agroforestri merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestri dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu contoh dari “Sistem Pertanian Sehat” (Hairiah dan Utami, 2002)
Sistem agroforestri memiliki beberapa keunggulan baik dari segi ekologi atau lingkungan. Agroforestri memiliki stabilitas ekologi yang tinggi, karena agroforestri memiliki:
1. Multi-jenis. artinya memiliki keanekaragaman hayati yang lebih banyak atau memiliki rantai makanan/energi yang lebih lengkap. Konversi hutan alami menjadi lahan pertanian mendorong penurunan keanekaragaman hayati secara drastis. Hasil penelitian Trudy O’Connors (sumber CRAF) menunjukkan bahwa adanya alih guna lahan hutan menjadi agroforestri berbasis kopi di Sumberjaya (Lampung Barat) menyebabkan berkurangnya jenis burung yang hidup di kebun kopi. Pengendali hama (burung pemakan serangga), Pengendali gulma: burung pemakan biji rumput-rumputan, walaupun jenis burung pemakan biji ini dapat menjadi hama di sawah.
2. Multi-strata tajuk dapat menciptakan iklim mikro dan konservasi tanah dan air yang lebih baik. Selain itu, dengan adanya kombinasi pohon dan tanaman semusim dapat mengurangi serangan hama dan penyakit
3. Kesinambungan vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim, yang merusak keseimbangan ekologinya.
4. Penggunaan bentang lahan secara efisien. Pada suatu lahan, kemungkinan terdapat ‘relung’ (niches) yang beragam tergantung pada kesuburan tanah,kemiringan lereng, kerentanan terhadap erosi, ketersediaan air, dsb. Pada sistem monokultur, keragaman ‘niches’ ini seringkali diabaikan, bahkan cenderung ditiadakan. Dalam agroforestri, petani memiliki banyak pilihan untuk menyesuaikan tanaman apa yang akan ditanam pada suatu ‘niches’, dan bukan ‘mengkoreksi’ untuk memanfaatkan ’niches’ tersebut, yang seringkali justru memboroskan biaya dan tenaga
E. Agroforestri sebagai Model Pertanian Berkelanjutan
Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang tepat guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial khususnya tanaman semusim menuntut terjadinya perubahan sistem produksi secara total menjadi sistem monokultur dengan masukan energi, modal dan tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang bebrbeda dari keadaan yang lazim dihadapi petani. Tidak mengherankan bila banyak hasil percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani.
Agroforestri mempunyai fungsi ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat misal untuk bahan pangan, kayu bakar dan aneka buah-buahan. Bahkan agroforestri mampu menyumbang 50-80% pemasukan pertanian di pedesaan melalui produksi langsung ataupun tidak langsung yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan pemasarana hasil
Dilain pihak produksi agroforestri selalu dianggap sebagai sistem yang hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri saja (subsisten). Agroforestri pada umumnya masih dianggap sebagai kebun dapur yang tidak lebih dar sekedar pelengkap sistem pertanian lainnya. Oleh sebab itu, sistem ini kurang mendapat perhatian.
Keunikan konsep pertanian komersial agoforestri adalah karena sistem ini bertumpu pada keragaman struktur dan unsur-unsurnya, tidak terkonsentrasi pada satu spesies saja. Dengan demikian akan menimbulkan beberapa akibat yang menarik bagi petani yang mengusahakannya. Aneka hasil kebun hutan sebagai tabungan (bank) karena pendapatan dari agroforestri dapat menutupi kebutuhan sehari-hari yang diperoleh dari hasil yang dapat dipanen secara teratur misalnya lateks, damar, kopi, kayu manis, kayu bakar dan sebagainya.
Struktur yang tetap dengan diversifikasi tanaman komersial, menjamin keamanan dan kelenturan pendapatan petani. Keragaman tanaman melindungi petani dari ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Ciri keluwesan yang lain adalah perubahan nilai ekonomi yang dialami bebrapa spesies seperti kayu damar dan kayu karet ketika kayu dar hasil hutan alami menjadi langka. Melalui diversifikasi hasil-hasil sekunder agroforestri menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi petani (kebun dapur) seperti bahan pangan pelengkap misalnya sayuran, buah, rempah dan tanaman obat.
Pemberdayaan pertanian berkelanjutan dapat melibatkan sector perternakan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroforestri. Ternak memanfaatkan tanaman untuk pakannya sebagai contoh adalah program Direktorat Pengemangan Peternakan (2003) yaitu pemeliharaan sapi potong di bawah kebun kelapa sawit. Peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri saat ini terkendala sehubungan dengan terbatasnya ketersediaan bibit ternak, pakan, lahan tempat usaha, modal dan daya saing. Perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk kawasan pengembangan ternak ruminansia karena potensial sebagai sumber bahan pakan ternak, tersedianya lahan usaha, infrastruktur, pasar dan modal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan perah, kambing/domba dapat dipelihara di bawah pohon kelapa sawit atau dengan jalan dikandangkan (sistem cut-and-curry). Manfaat lain adalah ternak dapat dijadikan sumber tabungan selain adatananya tanaman produktif yang telah di budidayakan. Kotoran ternak yang dihasilkan juga dapat dikelola dengan baik. Sehingga menghasilkan bahan tambahan berupa bahan organik pupuk kandang untuk budidaya tanaman.
Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993), sapi dan kerbau menghasilkan sejumlah besar kotoran per ekor per tahun. Kotoran tersebut mempunyai nilai ekonomis. Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan dijual sebagai pupuk kandang. Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk di tanah dan menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya. Nilai ekonomisnya, adalah bahwa petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi biaya untuk pupuk. Keuntungan lain dengan pemanfaatan ternak ruminansia, bahwa tidak perlu mencari lahan khusus untuk pemeliharaan sapi/ kerbau. Dibandingkan ternak nonruminansia, dalam hal mana cukup dapat diperlihara dengan sistem backyard farming
F. Bentuk-Bentuk Agroforestri
Sistem agroforestri memiliki keunikan dibanding sistem pertanian monokultur, dan keunikan itu harus dimunculkan dalam model yang membedakan antara model agroforestri dengan model sistem lain. Beberapa ciri khas yang dimiliki oleh sistem agroforestri adalah:
1. Adanya dua kelompok tumbuhan sebagai komponen dari sistem agroforestri, yaitu pepohonan atau tanaman tahunan dan tanaman semusim.
2. Ada interaksi antara pepohonan dan tanaman semusim, terhadap penangkapan cahaya, penyerapan air dan unsur hara.
3. Transfer silang antara pohon dengan tanaman.
4. Perbedaan perkembangan tanah. Perubahan tanah berbeda berdasarkan sistem tipe agroforestri: (a) sistem rotasi, (b) kepadatan spasial dari sistem campuran, dan (c) spasial terbuka dari sistem campuran dan sistem zone spasial.
5. Banyak macam keluaran (output) (Cooper, 1996)
Berdasarkan ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sistem agroforestri, maka model-model sistem agroforestri yang dikembangkan juga memiliki ciri tertentu pula. Sampai dengan saat ini, ada beberapa kelompok model agroforestri di antaranya adalah model-model yang menekankan:
1. Radiasi. Model tentang distribusi dan penangkapan cahaya serta naungan.
2. Pertumbuhan. Model yang menghubungkan faktor ketersediaan air (hujan) dengan pertumbuhan tanaman.
3. Tanah. Model simulasi proses yang terjadi dalam tanah, misalnya aliran air, erosi, siklus unsur hara (khususnya nitrogen) dan siklus bahan organik.
4. Ekonomi. Model dari nilai ekonomi sistem agroforestri, umumnya didasarkan pada biaya dan analisis manfaat.
5. Penggabungan. Model yang menggabungkan biofisik dan aspek ekonomi dari sistem agroforestri (Cooper, 1996)
Beberapa model Agroforestri yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut :
1. Agrisilvopastur “, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
2. Sylvopastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk menghasilkan kayu dan memelihara ternak.
3. Agrosylvo-pastoral sistem “, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan, dan sekaligus untuk memelihara hewan ternak.
4. “Multipurpose forest “, yaitu sistem pengelolaan dan penanaman berbagai jenis kayu, yang tidak hanya untuk hasil kayunya, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia, ataupun pakan ternak
Teknologi Agroforestry dikawasan hutan di Jawa dilaksanakan dengan menggunakan bentuk Tumpangsari. Inmas Tumpangsari, dan terakhir Tumpangsari Selama Daur Tanaman Pokok dalam Perhutanan Sosial. Tumpangsari berarti menduduki lahan hutan atau ikut memanfaatkan lahan hutan untuk sementara waktu adalah tanaman pertanian , yaitu pada tanaman hutan muda. Perbedaan dengan Inmas Tumpangsari dalam hal penerapan teknolologi pertanian yang digunakan, mencakup penggunaan teknologi sebagai berikut :
1. Penggunaan bibit unggul tanaman pertanian.
2. Perbaikanpengolahan dan konservasi tanah.
3. Penggunaan pupuk
4. Pemilihan waktu yang tepat untuk penanaman dan pemberian pupuk, sehubungan dengan waktunya turun hujan.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri mampu memberikan dan mempertahankan fungsi hutan dan agroforestri mampu dikembangkan dalam masyarakat pertanian sekaligus sebagai praktek pertanian secara berkelanjutan
A. Rekomendasi Pengelolaan Sistem Agroforestri
Pengelolaan sistem agroforestri terdiri dari banyak komponen antara lain pohon, tanaman semusim, hewan dan sebagainya, sehingga sistem tersebut cukup kompleks. Pada sistem ini akan terbentuk interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim dan setiap jenis komponen akan menimbulkan berbagai pengaruh negatif maupun positif terhadap komponen yang lain. Banyak masyarakat mengalami kegagalan dalam usaha agroforestrinya karena tingkat pemahaman terhadap interaksi tersebut masih kurang. Oleh karena itu penelitian biofisik agroforestri sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman proses yang terjadi dalam interaksi antara pohon-tanah-tanaman semusim. Pengukuran dan pemahamannya di lapangan cukup sulit dilakukan, untuk itu diperlukan alat bantu simulasi model. Tersedianya model agroforestri diharapkan dapat membantu dalam
menjabarkan pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat ke dalam
tingkat ilmiah.
Penyediaan bibit yang berkualitas tinggi
Usaha agroforestri tidak jarang mengalami kegagalan, karena pertumbuhan pohon yang tidak baik sebagai akibat rendahnya mutu bibit yang dipilih.
Untuk meningkatkan ketrampilan masyarakat dalam penyediaan bibit, maka masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemilihan bibit.
Pemilihan lokasi yang cocok (Tree-site-matching) dan pemasaran
Pemilihan lokasi yang tepat bagi jenis komoditi tertentu merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha agroforestri. Penelitian tentang pola sebaran pepohonan pada skala bentang lahan merupakan informasi yang sangat berharga bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha agroforestrinya. Di samping itu, informasi pasar untuk produk pohon (kayu bangunan, buah-buahan dan rempah) akan banyak membantu petani dalam mengatur strategi pengelolaan lahannya.
Pengukuran tingkat pelayanan lingkungan agroforestri
Agroforestri memberikan pelayanan lingkungan antara lain mempertahankan fungsi daerah aliran sungai (DAS), penyerapan CO2 di atmosfer dan mempertahankan keanekaragaman hayati. Masalah merosotnya kualitas lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini mendapat sorotan internasional, namun ketersediaan data kuantitatif masih belum banyak tersedia. Sebagai contoh, masalah kebakaran hutan yang melanda daerah luas dan terjadi pada waktu yang bersamaan pada tahun 1997, , CH4dan N2O) yang telah melebihi menyebabkan emisi gas rumah kaca (CO2) batas ambang yang diperbolehkan dari segi kesehatan.
Kebijakan Pemerintah
Penelitian yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan agroforestri antara lain yang berhubungan dengan:
1. Jaminan penguasaan lahan (land tenure).
2. Pengadaan “pasar hijau” bagi produk yang ramah lingkungan dan pemberian ‘insentif’ bagi petani yang melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn, P.M. 1993. Tropical soils and fertilizer use. Longman Science & Technical. 263p.
Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.
Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L. 1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.
Departemen Kehutanan. http://www.dephut.org.id/ diakses tanggal 25 Februari 2008
Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from Central Kalimantan. Proceedings Peat and Podzolik Soils anTheir Potential for Agriculture in Indonesia. Bulletin 3. Soil Researc Institute. pP:95-114.
Hairiah K, Widianto, SR Utami dan B Lusiana (editor). 2002. WaNuLCAS: model simulasi untuk sistem agroforestri. International Centre for Research in Agroforestry southeast Asian Regional Research Programme (ICRAF-SEA), Bogor.
Hidayati, N. 2000. Degradasi lahan pasca penambangan emas dan upaya reklamasinya: kasus penambangan emas Jampang-Sukabumi. PROSIDING Konggres Nasional VII HITI: Pemanfaatan sumberdaya tanah sesuai dengan potensinya menuju keseimbangan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandung 2 – 4 Nopember 1999. Buku I. Himpunan Tanah Indonesia. Hal: 283-294.
Lahjie, A.M. 1989. Praktek perladangan oleh penduduk asli dan pendatang di Kalimantan Timur. Proceeding of the Pusrehut seminar on reforestration and rehabilitation to develop the tropical rain forest and to support human prosperity and ecosystems. Mulawarman University. 163-178p.
Lal, R. 1986. Soil surface management in the tropics for intensive land use and high and sustained production. Stewart, B.A.(editor). Advances in soil science volume 5. Springer-Verlag New York Inc. p:1-110.
Manik, K.S.E., K.S. Susanto, dan Afandi. 1997. Degradasi lahan akibat proses antropogenik :studi kasus pembuatan batu bata di sekitar Bandar Lampung. J. Tanah Trop. 4:95-98.
McAlister, J.J., B.J. Smith, and B. Sanchez. 1998. Forest clearence: impact of landuse change on fertility status of soils from the Sao Francisco area of Niteroi, Brazil. Land Degradation & Development. 9:425-440.
Oldeman, L.R. 1994. The global extent of soil degradation. Greenland,D.J. and I. Szabolcs (editor). Soil resilience and sustainable land use. CAB International. p:99-118.
Narain, P. dan S.S. Grewal, 1994. Agroforestry for Soil and Water Conservation India Experience. Center Soil and Conservation Research and Training Maitute, Dehra Dun 48 195 , India 8th International Soil and Water Conservation.Challenges and Opportunities. Vol. 2.
Rony, 2008. Pertanian Berkelanjutan. http://m4h4rony.wordpress.com/2008/02/09/pertanian-berkelanjutan/ diakses tanggal 25 Februari 2008.
Satjapradja, D., 1981. Agroforestri di Indonesia, Pengertian dan Implementasinya. Makalah. Seminar Agroforestri dan Perladangan, Jakarta.
Young A. 1997. Agroforestry for soil management Wallingford, UK.Chichakly K, J Gass, M Newcomb, J Pease and K Richmond. 1996. STELLA. High performance ystems, Inc. 45 Lyme Road, Hannover, NH 03755, USA
Raintree JB. 1983. Theory and practice of Agroforestry Diagnosis and Design. In: MacDicken KG and NT Vergara (eds). 1990. Agroforestry: Classification and FManagement. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Tomich TP, M van Noordwijk, S Budidarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso, F Stole and AM Fagi. 1998. Alternatives to slash-and-burn in Indonesia. Summary report and synthesis phase II. ICRAF, Nairobi, Kenya.
Van der Heide J, S Setijono, Syekhfani MS, EN Flach, K Hairiah, S Ismunandar, SM Sitompul and M van Noordwijk. 1992. Can low external input cropping systems on acid upland soils in the humid tropics be sustainable? Background of the Unibraw/IB Nitrogen management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kota Bumi, Lampung Utara, Indonesia). Agrivita 15: 1-10.
Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.
Langganan:
Postingan (Atom)